Keputusan ada di tangan militer Mali untuk mulai memproses ekstradisinya ke Prancis."
Bamako (ANTARA News) - Seorang militan Islam Prancis yang ditangkap di Mali utara telah dipindahkan ke Bamako dan akan diserahkan kepada pasukan Mali, kata seorang juru bicara militer, Senin.

Gilles Le Guen (58), yang menggunakan nama Abdel Jelil, ditangkap oleh pasukan Prancis di dekat Timbuktu sepekan lalu sebelum diinterogasi di kota Gao, Mali utara.

"Militan Prancis itu dipindahkan ke Bamako utara dan ia bersama pasukan Operation Serval (Prancis) yang akan menyerahkannya kepada tentara Mali," kata juru bicara militer Mali Modibo Naman Traore kepada AFP.

"Keputusan ada di tangan militer Mali untuk mulai memproses ekstradisinya ke Prancis," tambahnya.

Militan Prancis itu diyakini bergabung dengan kelompok militan Afrika utara, Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), setelah pindah ke Mali bersama keluarganya sesudah menjalankan tugas di Maroko dan Mauritania.

Pada Oktober, Le Guen muncul dengan pakaian muslim dengan senjata di sampingnya dalam rekaman video di sebuah situs Mauritania dimana ia memperingatkan Prancis, AS dan PBB mengenai intervensi militer di Mali untuk menghalau militan dari wilayah gurun utara negara itu.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Prancis akan mengurangi pasukannya yang kini berjumlah 4.500 orang menjadi 1.000, dan resolusi PBB mengizinkan Prancis "menggunakan segala cara yang diperlukan" untuk campur tangan ketika pasukan PBB "berada dalam ancaman serius dan segera".

Pasukan Afrika barat yang sudah berada di Mali akan membentuk kekuatan inti dari Misi Stabilisasi Terpadu Multidimensi PBB, yang dikenal dengan singkatan Prancis MINUSMA.

Pasukan Prancis secara bertahap akan digantikan mulai Juli oleh pasukan penjaga perdamaian berkekuatan 12.600 orang yang bertanggung jawab atas kestabilan wilayah utara Mali. Pembentukan pasukan itu telah disahkan oleh Dewan Keamanan PBB.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013