Pengaturan tentang produk tembakau sebagaimana dalam draf RPP cenderung restriktif
Jakarta (ANTARA) - Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menolak draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait pengamanan zat adiktif produk tembakau yang dinilai menyamakan produk tembakau sebagai produk ilegal.

"Pengaturan tentang produk tembakau sebagaimana dalam draf RPP cenderung restriktif. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya pasal pelarangan, bukan pengendalian," ujar Ketua umum GAPPRI Henry Najoan di Jakarta, Jumat.

Pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menjadi mandat dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Salah satu bagian RPP yang sedang disusun adalah pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau sebagaimana mandat Pasal 152 UU 17/2023 tentang Kesehatan.

Dalam dokumen draf RPP yang beredar di publik, produk tembakau diatur dalam beberapa pasal, antara lain mengatur larangan iklan, displai produk dan larangan penjualan eceran/batang.

Menurut Henry, Mahkamah Konstitusi (MK) tercatat enam kali memutuskan produk tembakau adalah produk legal yang dibuktikan dengan dikenakan cukai, keenam putusan itu yakni Putusan MK No. 54/PUU-VI/2008, Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009, Putusan MK No. 19/PUU-VIII/2010, Putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010, Putusan MK No. 57/PUU-IX/201, Putusan MK No. 71/PUU-XI/2013, dan Putusan MK No. 81/PUU-XV/2017.

"Karena produk legal, seharusnya pengaturannya pun disesuaikan dengan produk legal lainnya," ujar Henry Najoan dalam keterangan tertulis.

Dikatakannya, kebijakan yang terlalu ketat terhadap kelangsungan industri hasil tembakau (IHT) dikhawatirkan dapat mematikan ekosistem pertembakauan.

“Ada enam juta orang yang bergantung pada IHT baik on farm maupun off farm mau dikemanakan mereka semua?” katanya.

Menurut dia, ekosistem pertembakauan di tanah ari telah terbentuk lama, dari hulu hingga hilir serta memiliki dampak berkelanjutan yang panjang.

IHT, lanjutnya, juga menjadi tempat bergantung bagi jutaan masyarakat Indonesia mulai petani tembakau, petani cengkeh, pekerja pabrik, peritel, pekerja periklanan, pekerja logistik dan transportasi, hingga usaha-usaha pendukung lainnya yang tumbuh dari bisnis pertembakauan.

"Kalau ekosistem tembakau dimatikan, apakah sudah siap dengan konsekuensinya?” katanya.

Terkait hal itu GAPPRI mengusulkan agar pasal-pasal terkait produk tembakau yang bernuansa pelarangan diubah menjadi pengendalian.

Pasalnya, dengan model pengaturan sebagaimana dalam dokumen draf RPP akan berdampak bagi iklim usaha dan investasi yang tidak kondusif mengingat saat ini IHT tidak sedang baik-baik saja.

Merujuk kajian GAPPRI, peraturan yang dibuat pemerintah saat ini sudah cukup memberatkan. Akibatnya, pabrik rokok jumlahnya turun dari 4.669 unit usaha di tahun 2007 menjadi 1.100 di tahun 2022.

"Produksi juga terus menurun dimana di tahun 2013 sebesar 346 miliar batang menjadi 324 miliar batang pada tahun 2022," katanya.

Kajian GAPPRI juga menyebutkan bahwa turunnya kontribusi IHT terhadap PDB yakni dari 5,05 persen pada 2018 menjadi 4,18 persen pada 2022. Sementara, pada triwulan 2023 turun lagi menjadi 4,05 persen.

Bahwa IHT telah berkontribusi terhadap penerimaan negara cukup besar antara lain dari pendapatan cukai tahun 2022 sebesar Rp218,6 triliun.

"Karena itu, Perkumpulan GAPPRI berharap pengaturan terhadap IHT sebagaimana dalam dokumen draf RPP harus mencerminkan diantaranya asas kemanusiaan, kebangsaan, kenusantaraan, keadilan yang memberikan kepastian usaha bagi IHT kretek nasional," ujar Henry Najoan

Baca juga: Gappri sebut PP 109/2012 masih sesuai diterapkan
Baca juga: Gappri minta pemerintah tak naikkan cukai hasil tembakau pada 2022

Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2023