Mengingat keamanan berkaitan dengan ketidakpastian politik yang ada, Kedubes Inggris untuk jangka waktu tertentu menarik sejumlah kecil staf,"
Tripoli (ANTARA News) - Bom yang meledak di luar dua pos polisi di kota Benghazi di bagian timur Libya pada Kamis (9/5) menyebabkan Inggris mengurangi staf di kantor kedutaan besar mereka di Tripoli dengan alasan keamanan.

Ledakan yang menyebabkan kerusakan namun tidak ada korban tersebut merupakan pertanda terbaru terkait ketidakamanan di Benghazi, tempat bermulanya gerakan rakyat yang menggulingkan Muamar Gaddafi pada 2011.

Pemerintah juga berupaya keras mengendalikan keamanan di ibu kota Tripoli, tempat kedutaan besar (kedubes) Prancis dibom kurang dari tiga pekan lalu. Kelompok bersenjata menduduki dua kantor kementerian beberapa hari kemudian untuk menyiarkan tuntutan kepada parlemen dan menolak meninggalkan lokasi sebelum perdana menteri mengundurkan diri.

"Mengingat keamanan berkaitan dengan ketidakpastian politik yang ada, Kedubes Inggris untuk jangka waktu tertentu menarik sejumlah kecil staf," demikian tertulis dalam pernyataan resmi pihak kedubes, sembari menambahkan mereka tetap beroperasi seperti biasa.

Salah seorang sumber di kedubes Inggris mengatakan keputusan tersebut dipicu kejadian pengepungan sejumlah kementerian, serta kekhawatiran kelompok-kelompok bersenjata yang bertentangan dapat bertemu dalam sebuah demonstrasi yang direncanakan di ibu kota.

Pada Kamis (9/5), Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Amerika Serikat kembali menerbitkan peringatan bepergian ke Libya dan menyatakan telah memerintahkan kepada sejumlah pejabat pemerintahan AS di Libya untuk meninggalkan Tripoli dengan alasan keamanan.

Kemlu AS juga menyatakan "sangat menyarankan membatasi rencana perjalanan ke Tripoli dan membatalkan rencana ke Benghasi, Bani Walid, dan wilayah selatan Libya, termasuk daerah perbatasan serta wilayah Sabha dan Kufra".

Dua tahun berselang setelah Gaddafi tewas terbunuh, kelompok-kelompok bersenjata yang membantu penggulingannya masih lebih kuat dibandingkan pemerintah negara gurun di Afrika Utara, yang didominasi kebanyakan wilayah penghasil minyak.

Prancis, AS dan Inggris, dalam sebuah peryataan bersama pada Rabu (8/5), mengatakan institusi dan perwakilan terpilih di Libya harus bisa bekerja tanpa dihantui intimidasi dari kelompok-kelompok bersenjata.

"Kami menyerukan kepada seluruh Libya untuk menahan diri dari protes disertai senjata dan kekerasan selama masa sulit demi transisi demokrasi," demikian dalam pernyataan tiga negara Barat tersebut.

Pemerintah pada Jumat meminta bantuan kepada bank pembangunan Eropa untuk pembangunan institusi demi mengisi kekosongan administrasi yang ditinggalkan oleh kekuasaan tunggal Gaddafi selama lebih dari empat dekade.

Hingga saat ini, Libya hanya mengajukan kerja sama teknis dengan Bank Eropa untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (EBRD Bank), sebuah hubungan yang relatif berada di tingkat rendah dengans sebuah bank.

Namun sejumlah negara seperti Mesir telah merasakan keuntungan dari status semacam itu untuk menjadi penerima investasi skala penuh dari bank yang sebetulnya didirikan untuk membantu negara-negara bekas komunis Eropa tersebut.

Libya memang tidak kekurangan dana, namun kekurangan institusi dan proses untuk membelanjakan kekayaan hasil minyak yang telah terakumulasi.

"Gubernur bank sentral mengatakan mereka memiliki cadangan sebesar 130 miliar dolar AS, namun tidak ada institusi untuk dialokasi," kata seorang sumber yang memiliki kedekatan dalam diskusi antara Libya dan EBRD Bank dikutip Reuters. (G006/M014)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013