Jakarta (ANTARA) - "Saya tidak mau terprovokasi isu SARA dan politik identitas lagi," kata Deni, warga Kelurahan Pondok Gede, Jakarta Timur, dengan menggebu-gebu.

Pria berbadan tegap itu menjadi bagian dari sejarah terpolarisasinya masyarakat saat Pemilu 2019.

Setelah peristiwa itu, ia tidak ingin lagi menjadi korban polarisasi politik yang dibalut jargon populer "Cebong dan Kampret" karena mengganggu ketentraman pribadinya di dunia nyata maupun maya.

Luka akibat runcingnya segregasi sosial akibat Pilpres 2019 juga berdampak jelas terhadap keberlangsungan dan kerukunan interumat dan antarumat beragama penduduk negeri. Masyarakat yang sudah tenggelam pada pilihan politiknya, bahkan bisa terbelah hingga lingkup terkecil, keluarga.

Anggota keluarga keluar grup "WA" karena jengah dengan rentetan broadcast yang isinya menyudutkan krlompok tertentu. Rumah tangga pun menjadi retak karena beda pilihan.

Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang dirilis Kementerian Agama dalam lima tahun terakhir pada periode 2017-2022 juga menunjukkan angka kerukunan umat turun dari 73,83 di tahun 2019 menjadi 67,46 di tahun 2020. Untungnya, angka itu kembali meningkat menjadi 72,09 di tahun 2022.

Menurunnya indeks kerukunan itu cepat disadari, khususnya oleh masyarakat di Ibu Kota Jakarta. Seperti kata pepatah "Pengalaman adalah guru terbaik". Masyarakat tidak ingin pengalaman buruk di 2019 kembali terulang di hari-hari selanjutnya.

Berawal dari gang sempit selebar dua meter dari jalan utama Kelurahan Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, gagasan perdamaian itu tumbuh.

Bangunan yang diselimuti nuansa merah muda tersebut, dindingnya dipenuhi kertas laporan dan informasi. Ruangannya memang tak mewah, tapi pikiran yang disampaikan lewat gagasan orang-orang di dalamnya menjadi istimewa.

Di dalam ruang itulah sekelompok orang dengan semangat membuncah merumuskan gagasan, menumbuhkan harapan, untuk mengakhiri pertikaian antaranak bangsa.

Peranan penting sebagai resolusi konflik sosial pun diinisiasi oleh orang-orang yang merupakan utusan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Timur sebagai ulil amri (seorang atau sekelompok orang yang mengurus kepentingan umat) serta tokoh-tokoh pemuka agama setempat sebagai ulama (Orang-orang berilmu agama) itu.

Lewat program Kelurahan Sadar Kerukunan, mereka berupaya menyemai bibit perdamaian kepada seluruh penghuni kota.

Untuk menjaga kerukunan perlu ada kesamaan pandangan, visi misi, dan kemauan masyarakat.

Gagasan program Kelurahan Sadar Kerukunan, sejatinya telah dideklarasikan Pemkot Jakarta Timur di Kelurahan Malaka Sari, Kecamatan Duren Sawit, 21 Juli 2021. Deklarasi monumental itu sekaligus mengawali upaya untuk mempererat persatuan dan kesatuan tanpa ada gesekan satu sama lain.

Ragam intervensi dan campur tangan pun dilakukan agar program itu tak sekadar menjadi seremoni. Intervensi diimplementasikan lewat berbagai kegiatan yang dijalankan oleh Suku Dinas Pemuda dan Olahraga, Suku Dinas Kebudayaan dan Suku Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (PPKUMKM), serta Suku Dinas Pariwisata untuk bidang pengembangan.

Empat unit kerja perangkat daerah (UKPD) itu menjadi media kerja sama untuk memberikan berbagai pelatihan, pendidikan, dan pengembangan wawasan, sehingga mengurangi potensi-potensi yang negatif, seperti turnemen olahraga, hingga pameran produk UMKM.

Dengan kegiatan-kegiatan tersebut, warga diharapkan dapat lebih guyub, kreatif, dan kompetitif, sehingga menjadikan kehidupan di wilayah tersebut menjadi lebih baik, rukun, aman dan tentram.

Dengan kegiatan itu, menjadi bisa lebih mengenal sesama warga, bisa saling bekerja sama mengerjakan sesuatu.

Perluasan program

Untuk memperkokoh eksistensi program, sekaligus menyambut datangnya peringatan Hari Toleransi Internasional 2023 pada 16 November mendatang, pemerintah kota bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Polres Metro Jakarta Timur berencana memperluas kawasan Kelurahan Sadar Kerukunan di wilayah Cipinang Besar Utara atau CBU.

Cipinang Besar Utara atau CBU dipilih menjadi titik semai perdamaian selanjutnya berdasar pada hasil pemetaan yang menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki potensi serta kerawanan-kerawanan konflik sosial yang besar, seperti tawuran kaum muda dan gesekan antaretnis maupun agama.

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jakarta Timur Ma'arif Fuadi optimistis perluasan program Kelurahan Sadar Kerukunan ini akan membawa angin segar dan kesejukan dalam kehidupan sosial masyarakat di wilayahnya.

Lebih jauh, melalui perluasan Kelurahan Sadar Kerukunan ini diharapkan banyak warga di daerah lain yang terinspirasi, sehingga ikut serta menduplikasi program serupa.

Harapannya semua kelurahan bisa mencontoh, sehingga kondusivitas terjaga, termasuk saat pemilu nanti.
​​​​​​
Semangat dan gagasan yang diwujudkan melalui program Kelurahan Sadar Kerukunan ini pun mendapat apresiasi yang tinggi karena telah sejalan dengan upaya Kementerian Agama dalam menggelorakan semangat kerukunan.

Kementerian Agama lewat penyuluh dari Kantor Urusan Agama (KUA) juga terus mengupayakan hal serupa, namun melalui cara yang berbeda, yakni mengampanyekan moderasi beragama kepada tokoh lintas kepercayaan, baik Kristen, Katolik, Budha, Hindu, Islam, dan Konghucu.

Moderasi beragama merupakan cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang dianut dan dipraktikkan oleh sebagian besar penduduk negeri ini.

Moderasi beragama bertujuan untuk saling berdamai, membangun empati, dan saling menghargai terhadap setiap perbedaan keyakinan. Saat ini pemerintah menjadikan moderasi beragama sebagai salah satu program nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMD).

Untuk mencapai kerukunan umat beragama itu, salah satu formulasinya adalah moderasi beragama.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023