Ini yang paling berat di Jabar. Di sini sudah banyak sekali pabrik yang tutup pindah daerah dan sebagainya ini menurunkan daya beli. Dan saat ini produk UKM dan IKM (terutama tekstil) tidak terserap seiring serangan impor akan menambah ancaman itu ka
Bandung (ANTARA) -
Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Barat mengatakan, turunnya daya beli terhadap produksi industri kecil menengah (IKM) dan Usaha Kecil Menengah (UKM), termasuk sektor tekstil, semakin menambah ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Kepala Dinas Koperasi dan UKM Jawa Barat Rachmat Taufik Garsadi mengungkap hal tersebut karena kebanyakan pekerja formal di wilayahnya sebesar 70 persen dari 24 juta, masuk pada sektor UKM dan IKM.

"Ini yang paling berat di Jabar. Di sini sudah banyak sekali pabrik yang tutup pindah daerah dan sebagainya ini menurunkan daya beli. Dan saat ini produk UKM dan IKM (terutama tekstil) tidak terserap seiring serangan impor akan menambah ancaman itu karena 90 persen di kita IKM dan UKM," ucapnya di Bandung, Senin.

Menurut data, kata Taufik, PHK secara resmi kecil, tetapi dari data BPJS Ketenagakerjaan yang mengambil Jaminan Hari Tua (JHT), artinya yang tak bekerja lagi, mencapai lebih dari 150 ribu orang.

"Dengan kunjungan pak menteri Koperasi dan UKM  kami sangat berharap Jabar sebagai lokomotif Indonesia dengan 90 persennya IKM dan UKM bisa bertahan, kalau Jabar berhasil otomatis daerah lain akan berhasil," ucapnya.

Sementara, Ketua Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB) Nandi Herdiaman menjelaskan adanya serangan barang impor dengan harga di bawah pasar, mendorong rendahnya permintaan baik itu pedagang pasar domestik maupun pedagang online yang berimbas pada penutupan industri.

"Itu terdampak ke kami (produsen), sudah banyak penutupan, jadi memang Jabar ini sudah banyak sekali, udah bukan hitungan satu atau dua tapi sudah banyak, dampaknya mungkin timbul pengangguran seiring beberapa bulan ini merosot," katanya.

Bahkan, menurut dia, usaha tekstil ini tidak akan bertahan ketika impor terus membanjiri, efeknya akan terjadi pengangguran besar-besaran, pasalnya di beberapa daerah di Jawa Barat seperti Kabupaten Bandung, Cirebon, dan wilayah lain IKM tekstil sudah banyak yang tutup.

"Karenanya dengan adanya tinjauan pak Menteri Teten kemarin, semoga beliau bisa mendapatkan fakta rilnya seperti apa dan menyampaikan di pusat agar masalah ini bisa ditanggulangi karena membanjirnya produk impor," katanya.

Sebelumnya, Menkop UKM Teten Masduki mengatakan berbagai masukan yang disampaikan pengusaha dan hasil tinjauannya ke Kabupaten Bandung pada Minggu (24/9), akan dikoordinasikan lebih lanjut di tingkat pemerintah pusat melalui Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg), mengingat kewenangan soal impor yang diduga melakukan praktik predatory pricing tersebut ada di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan.

Termasuk, lanjut dia, soal usulan penetapan harga pokok penjualan (HPP) khusus untuk barang impor, seperti China yang menetapkan bahwa barang masuk dari luar negeri tidak boleh lebih rendah dari Harga Pokok Penjualan (HPP) demi melindungi industri dalam negeri.

Pasalnya, efek membanjirnya barang impor yang juga menerapkan predatory pricing atau jual rugi melalui daring atau online, mengakibatkan berbagai pusat penjualan besar seperti ITC Kebon Kalapa, Pasar Andir, hingga Pasar Tanah Abang sepi, bahkan produsen sendiri tidak bisa bersaing dalam platform daring.

"Jadi betul juga apa yang disampaikan para pelaku usaha di sini, bahwa kita tuh barang dari luar masih terlalu mudah dan murah masuknya, sehingga memukul produksi dalam negeri. Makannya saya akan coba sampaikan ini di pusat," ucapnya.

Baca juga: Ini penyebab 188 perusahaan TPT Jabar bangkrut dan relokasi

Baca juga: PLN: Konsumsi listrik industri tekstil di Jabar tumbuh 11 persen

Baca juga: Jabar Terancam Kehilangan Pendapatan Perdagangan Rp5,7 Triliun

 

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2023