Stres kronis juga dapat memicu peradangan dalam tubuh
Jakarta (ANTARA) - Praktisi Kesehatan Masyarakat, Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah dr Erta Priadi Wirawijaya mengatakan stres dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, karena stres berpengaruh dalam berbagai perubahan fisik dan biologis yang terjadi dalam tubuh saat mengalami stres.

"Stres dapat memicu pelepasan hormon stres, seperti adrenalin, yang meningkatkan tekanan darah. Tekanan darah yang tinggi adalah faktor risiko utama penyakit jantung," katanya dalam diskusi terkait Hari Jantung Sedunia 2023 yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.

Erta mengatakan stres juga dapat mempengaruhi detak jantung. Beberapa orang mengalami peningkatan denyut jantung (takikardia) saat stres, yang jika berlangsung dalam jangka panjang dapat meningkatkan beban kerja jantung.

Selain adrenalin, kata dia, hormon stres lainnya seperti kortisol juga dapat meningkat selama stres. Kortisol dapat mempengaruhi metabolisme tubuh dan menyebabkan peningkatan kadar gula darah, yang dapat memengaruhi kesehatan pembuluh darah.

"Stres kronis juga dapat memicu peradangan dalam tubuh. Peradangan kronis merupakan faktor risiko penyakit jantung, karena dapat merusak dinding arteri dan meningkatkan risiko pembentukan plak aterosklerosis," ujarnya.

Baca juga: Dokter: Rokok berdampak negatif pada kemampuan jantung saat olahraga

Baca juga: Kemenkes: Penyakit kardiovaskular sebabkan kematian terbanyak di RI


Menurut Erta, orang yang mengalami stres sering kali cenderung melakukan perilaku yang tidak sehat, seperti makan berlebihan, mengonsumsi alkohol berlebihan, atau merokok. Ini adalah faktor tambahan yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung.

Kemudian, sambungnya, stres dapat mengganggu pola tidur. Kondisi kurang tidur atau tidur yang buruk berkaitan dengan risiko penyakit jantung yang lebih tinggi.

"Penting untuk diingat bahwa respon terhadap stres dapat bervariasi dari individu ke individu, dan tidak semua orang akan mengalami efek yang sama. Namun, jika stres menjadi kronis dan tidak diatasi dengan baik, maka dapat meningkatkan risiko penyakit jantung pada individu yang rentan," tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Eva Susanti mengungkapkan penyakit kardiovaskular atau jantung menjadi penyebab kematian terbanyak di Indonesia.

"Penyebab kematian tertinggi di Indonesia adalah penyakit stroke dengan 19,42 persen dan jantung iskemik (serangan jantung) dengan 14,38 persen," ujar Eva Susanti.

Oleh karena itu dalam menyambut Hari Jantung Sedunia yang diperingati pada 29 September setiap tahunnya, Kemenkes melakukan sejumlah strategi untuk meminimalisir angka kematian akibat penyakit kardiovaskular.

Beberapa strategi tersebut meliputi sejumlah aspek seperti edukasi dan promosi kesehatan, deteksi dini, penanganan kasus, serta rehabilitasi yang melibatkan lintas program dan sektor.

"Keberhasilan edukasi, promosi, deteksi dini, penanganan kasus, dan rehabilitasi program pencegahan dan pengendalian penyakit jantung harus dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan melalui kerja sama lintas program, lintas sektor, pihak swasta, organisasi profesi, sivitas akademika, serta unsur lain yang terkait untuk mencapai Jantung Sehat Indonesia Kuat," tutur Eva Susanti.

Baca juga: Migrain berhubungan dengan risiko lebih tinggi kena sakit jantung 

Baca juga: Kadar hormon stres pada rambut bisa indikasikan masalah jantung
 

Pewarta: Sean Muhamad
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023