ada perubahan cara bertransaksi, berkomunikasi, berhubungan di media, jejak digital, komunitas digital, transaksi digital, itu tidak bisa kita hindari
Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI Suryo Utomo menilai reformasi perpajakan perlu dilakukan agar sistem perpajakan Indonesia mampu mengimbangi kemajuan teknologi.

“Kami akan terus berupaya melakukan perubahan karena waktu berlalu, situasi berubah. Beberapa tahun terakhir ada perubahan cara bertransaksi, cara berkomunikasi, atau cara berhubungan di media, jejak digital, komunitas digital, transaksi digital, itu jadi sesuatu yang tidak bisa kita hindari saat ini," kata Suryo dalam acara Sarasehan dan Update Reformasi Pajak Tahun 2023 di Jakarta, Senin.

Suryo menjelaskan Ditjen Pajak melanjutkan Reformasi Perpajakan Jilid III yang telah dimulai sejak tahun 2017 hingga saat ini. Reformasi perpajakan tersebut ditujukan untuk meningkatkan efektivitas penerimaan perpajakan sekaligus pengumpulan data administratif yang lebih objektif di masyarakat.

Dalam paparannya, Suryo menyebutkan terdapat lima pilar optimalisasi penerimaan pajak yang difokuskan pemerintah. Pilar pertama mengenai peraturan. Perlu adanya kepastian hukum yang dapat menampung dinamika perekonomian, mengurangi biaya kepatuhan, memperluas basis perpajakan serta meningkatkan penerimaan pajak.

Pilar kedua, Ditjen Pajak berfokus untuk memperbaiki proses bisnis dengan mengacu pada perubahan proses bisnis, cara bekerja, serta cara bertransaksi masyarakat di tengah era digitalisasi sekarang.

“Ketiga, adalah bagaimana kita betul-betul memanfaatkan data, data terkait program amnesti yang disampaikan tahun 2016-2017, data terkait dengan aktivitas exchange of information yang kita dapatkan mulai dari 2018 hingga saat ini, dan data-data lain yang terus kita dapatkan,” ujar Suryo.

Baca juga: Antaranews.com terima Penghargaan Direktorat Jenderal Pajak

Baca juga: UMKM beromzet di bawah Rp500 juta tidak dikenakan pajak


Pilar keempat, peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang profesional, kompeten, kredibel dan berintegritas.

Serta pilar kelima, perubahan struktur organisasi yang lebih ideal.

“Itu jadi penting, karena tulang punggung organisasi pekerja adalah SDM, tulang punggung pelaksana sistem administrasi juga adalah SDM. Jadi jadi penting bagi kami adalah bagaimana terus melakukan kalibrasi untuk melaksanakan sistem informasi yang akan digunakan ke depan,” katanya.

Adapun target penerimaan pajak dalam RUU APBN 2024 ditetapkan sebesar Rp1.986,9 triliun. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menilai bahwa target itu masih realistis untuk dicapai.

Ia menjelaskan target pertumbuhan pajak sebesar 9,2 persen masih tergolong rasional karena mengacu pada kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup solid di atas 5 persen.

Kemudian, berdasarkan tingkat inflasi Indonesia secara tahunan (yoy) yang menurun di angka 3,08 persen menjadi cerminan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang konsisten membaik hingga 2024.

Untuk mampu mencapai target penerimaan pajak Rp1.986,9 triliun, Yon Arsal menjelaskan pihaknya akan menjalankan berbagai strategi kebijakan teknis pajak tahun 2024 yang meliputi juga optimalisasi perluasan basis pemajakan sebagai tindak lanjut Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Baca juga: Kanwil DJP: Realisasi penerimaan pajak di Sumbar tumbuh 10,77 persen

Baca juga: Kemenkeu himpun pajak Rp1.246,97 triliun hingga Agustus

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2023