Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Prof. dr. Ali Ghufron Mukti menyatakan bahwa puskesmas perlu memiliki strategi untuk menyerap anggaran kesehatan lebih baik.

“Kita perlu duduk bersama bagaimana agar teman-teman di puskesmas bisa memanfaatkan dana dengan baik, karena di daerah yang sering kita temui itu mereka bilang anggarannya kurang, tetapi nanti realisasinya masih ada sisa anggaran,” kata Ali pada penyampaian laporan hasil kajian Ombudsman yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.

Ombudsman RI memberikan laporan hasil kajian sistemik tata laksana fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Rabu.

Ali mengisahkan, pada saat perubahan Peraturan Menteri Kesehatan di tahun 2013 yang dirinya juga menjadi tim penyusun, ada pemberian dana langsung kepada puskesmas untuk kapitasi, yakni sistem pembayaran yang dilaksanakan pada FKTP, khususnya perawatan rawat jalan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Kapitasi didasarkan pada jumlah peserta yang terdaftar di suatu fasilitas kesehatan dikalikan dengan besaran kapitasi per jiwa, yang dapat digunakan untuk administrasi pelayanan, kegiatan promotif, preventif, konsultasi medis, hingga layanan pengobatan.

“Kita mau langsung kapitasi itu di puskesmas karena selama ini cenderung kurang perhatian, pendapatan juga jauh dari yang bekerja di rumah sakit, namun selisih anggaran pendapatan daerah dari anggaran tersebut besar hingga mencapai Rp2 triliun, sehingga kesimpulannya, puskesmas belum bisa memanfaatkan anggaran tersebut dengan maksimal,” ujar dia.

Baca juga: BPJS Kesehatan alokasikan Rp8 triliun dana skrining kesehatan 2023

Baca juga: Dirut BPJS Kesehatan: NIK jadi nomor identitas bantu hemat anggaran


Dia menyebutkan, hasil kajian sistemik yang diberikan oleh Ombudsman sangat penting agar pemerintah dapat duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan nyata yang ada di lapangan.

“Masalahnya, selama ini siapa yang mengerjakan bidang kesehatan? Karena kita desentralisasi ya di daerah, padahal pimpinan daerah belum tentu memiliki komitmen yang tinggi di bidang kesehatan. Di daerah itu, 70-80 persen (anggaran yang digunakan) untuk gaji pegawai,” ucapnya.

Untuk itu, ia menekankan terkait dengan bidang kesehatan, pemerintah harus melihat permasalahan secara lebih komprehensif.

“Harus lebih komprehensif melihatnya, agar penyelesaiannya lebih bagus, tetapi paling tidak, hasil dari kajian ini sangat bermanfaat dan berguna untuk menyelesaikan sesegera mungkin sehingga masyarakat kita bisa lebih sehat,” tuturnya.

Ia menegaskan, sistem jaminan kesehatan di Indonesia memang sudah baik, hanya saja perlu upaya yang lebih keras untuk menunjukkan hasil yang lebih baik dan nyata sehingga efektivitas anggaran bisa terwujud.

“Kalau dari segi sistem jaminan kesehatan dibandingkan Amerika, mungkin kita masih berani, tetapi kalau bicara hasil, angka stunting kita masih tinggi, kematian ibu juga masih tinggi,” kata dia.

Ia memaparkan, angka kematian ibu di Indonesia menempati peringkat tertinggi, yakni 228 per 100.000 kelahiran hidup.

“Di Malaysia, kurang dari 50, Vietnam kurang dari 30, Singapura apalagi kurang dari 5,” tuturnya.

Ia berpesan, perlu ada kebijakan yang lebih jelas untuk menegaskan siapa yang perlu bertanggung jawab dalam menyelesaikan penyerapan anggaran di fasilitas kesehatan tingkat pertama ini.

“Perlu siapa yang bertanggung jawab dan penyelesaiannya bagaimana, kalau tidak, dari sisi kesehatan kita akan terus memburuk,” demikian Ali Ghufron Mukti.

Baca juga: Menkes akan tambah tenaga-anggaran kesehatan untuk promotif preventif

Baca juga: BPJS Kesehatan apresiasi layanan tradisional Puskesmas Bangli

 

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023