Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan kegiatan Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami (SLG) dan Program Tsunamy Ready Community menjadi strategi pemerintah mewujudkan nol korban bencana.

"Dua strategi tersebut menjadi senjata kami untuk mewujudkan target zero victim dengan mendorong kesiapsiagaan masyarakat, selain tentunya pengembangan dan penguatan teknologi sistem peringatan dini," ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Dalam Aceh International Workshop and Expo on Sustainable Tsunami Disaster Recovery yang diselenggarakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta bekerja sama dengan Universitas Syah Kuala, Dwikorita menyampaikan melalui strategi itu BMKG menggandeng Pemerintah Daerah dan BPBD guna mengurangi kesenjangan pengetahuan di masyarakat mengenai gempa bumi dan tsunami.

"Harapannya, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana tidak panik karena terampil apa yang harus dilakukan jika bencana gempa bumi dan tsunami terjadi sewaktu-waktu," katanya.

Ia mengemukakan SLG memberikan informasi mengenai potensi bahaya gempa bumi dan tsunami di daerah pelaksanaan. BMKG juga membantu pemerintah daerah setempat dengan memberikan Peta Bahaya Tsunami di lokasi pelaksanaan.

"Hal ini bertujuan sebagai acuan pemerintah daerah dalam menyusun mitigasi gempa bumi dan tsunami di daerahnya," tuturnya.

Baca juga: BMKG gencarkan sekolah lapang gempa tingkatkan literasi kebencanaan

Baca juga: BMKG: Kemandirian masyarakat selatan DIY hadapi tsunami diperkuat


Sementara program Tsunami Ready Community, disampaikan Dwikorita, adalah program peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi ancaman tsunami dengan berbasis pada 12 indikator yang telah ditetapkan UNESCO-IOC.

Tujuannya, menyiapkan masyarakat agar senantiasa siap siaga dan tidak gagap dalam menghadapi ancaman gempa bumi dan tsunami. Selain itu, guna mewujudkan SAFE OCEAN, salah satu outcome dari UNDecade for Ocean Science.

Dwikorita mengatakan peristiwa Tsunami Aceh, Tsunami Palu serta Selat Sunda menunjukkan bahwa selain membangun sistem peringatan dini yang cepat, tepat, dan akurat juga dibutuhkan kesigapan masyarakat dalam merespon peringatan dini tersebut.

Ia memaparkan waktu kedatangan tsunami berbeda-beda di setiap wilayah. Tsunami Palu hanya butuh dua menit setelah gempa, sementara di tempat lain waktu tiba tsunami bisa 30 menit atau lebih lama.

"Oleh karenanya, kami ingin masyarakat bisa memanfaatkan golden time sebaik mungkin untuk menyelamatkan diri," kata Dwikorita.

Dwikorita juga mengatakan BMKG terus mendorong pelestarian kearifan lokal masyarakat mengenai bencana alam lewat SLG. Smong di Simeuleu Aceh, Bomba Talu di Palu, dan Caah Laut di Lebak adalah sedikit dari sekian banyaknya kearifan lokal masyarakat yang bisa dimanfaatkan sebagai mitigasi bencana alam.

"Kami sadar tidak bisa bekerja sendiri, maka dari itu kami terus menjalin kerjasama dan mendorong kolaborasi pentahelix antara pemerintah, akademisi/ilmuwan, swasta, masyarakat dan media untuk mewujudkan zero victim," tuturnya.

Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023