Jakarta (ANTARA) - Koalisi masyarakat sipil menyambut baik inisiatif bersama antara Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa dalam membentuk gugus tugas terkait Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR).
 
“Kami menyambut positif inisiatif pembentukan joint task force EUDR,” kata Campaigner Kaoem Telapak Olvy Tumbeleka dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis.
 
Koalisi masyarakat sipil menilai pembentukan gugus tugas itu dapat meningkatkan dialog mengenai keterlacakan dan transparansi rantai pasok komoditi pertanian yang berisiko menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan.
 
"Secara langsung atau tidak, masa depan nasib petani kecil mandiri, buruh perkebunan sawit, kelompok masyarakat adat dan komunitas lokal yang ada di Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh kesepakatan dan rencana aksi yang akan dirumuskan oleh gugus tugas tersebut," katanya.

Baca juga: Masyarakat sipil minta revisi RTRW harus berbasis kepentingan ekologi

Peneliti ECOSOC Institute Sri Palupi menuturkan gugus tugas bersama itu mengatasi berbagai kekhawatiran yang disampaikan oleh Indonesia dan Malaysia dalam mengimplementasikan EUDR mengingat Indonesia dan Malaysia adalah produsen kelapa sawit terbesar dunia.
 
“Gugus tugas memperkuat dialog yang berfokus kepada transparansi dan ketelusuran,” ujarnya.
 
Meskipun koalisi masyarakat sipil sepakat dengan pembentukan gugus tugas bersama tersebut, menurut Sri Palupi, mereka menyayangkan bahwa proses konsultasi pertama yang dilakukan oleh gugus tugas bersama pada 4 Agustus 2023 dilakukan secara tertutup dan tidak inklusif.

Mereka menyesalkan tidak ada informasi yang cukup tersedia di publik yang dapat digunakan oleh para pemangku kepentingan rentan yang akan terdampak, seperti small-holders, buruh perkebunan, masyarakat adat dan komunitas lokal, serta kelompok pemantau independen untuk memastikan proses dan tahapan yang berlangsung dalam gugus tugas bersama tidak mendiskriminasi para pemangku kepentingan terdampak.

Koalisi masyarakat sipil memandang perumusan kesepakatan yang berdampak luas tanpa melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk para pemangku kepentingan yang akan rentan terdampak, bukan hanya menyalahi prinsip demokrasi dan hak asasi tetapi juga bisa mempengaruhi kualitas pencapaian tujuan gugus tugas bersama terkait pelaksanaan EUDR.

Baca juga: Masyarakat sipil minta Pemerintah kaji ulang pelepasan hutan di Kaltim
 
Pada Mei 2023, Uni Eropa telah mengesahkan Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa (EUDR) dan peraturan itu telah diundangkan pada Juni 2023.
 
Sebanyak 27 negara mengadopsi aturan yang membantu perserikatan negara-negara Uni Eropa itu mengurangi kontribusi terhadap deforestasi global.
 
Regulasi yang diberlakukan Uni Eropa itu melarang komoditi dan produk turunan perkebunan, pertanian, dan peternakan seperti minyak sawit, minyak kedelai, arang, daging sapi, kakao, kopi, karet, jagung, produk kayu dan pulp yang terindikasi dihasilkan melalui proses deforestasi dan degradasi hutan.
 
Pada 4 Agustus 2023, pertemuan pertama ad hoc gugus tugas bersama EUDR dilakukan di Jakarta.
 
Pertemuan tersebut dipimpin oleh Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud, Sekretaris Jenderal Kementerian Perkebunan dan Komoditas (MPC) Malaysia YBhg. Dato' Mad Zaidi bin Mohd Karli, dan Direktur Diplomasi Hijau dan Multilateralisme Komisi Eropa (EC) Astrid Schomaker.

Baca juga: Koalisi masyarakat sipil dorong revisi PP soal produk tembakau
 
Pertemuan itu diadakan untuk mencapai pemahaman bersama di antara negara produsen dan negara konsumen.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2023