Jakarta (ANTARA) - Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, serta Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas, pemerintah telah menjawab kekhawatiran kaum difabel tentang jaminan mendapatkan pendidikan yang setara.

Aturan tersebut mewajibkan seluruh satuan pendidikan di Tanah Air untuk menjadi penyelenggara pendidikan yang inklusif bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang ingin mendapatkan pengajaran di sekolah reguler.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mencatat bahwa hingga September 2023 total sekolah reguler yang menjadi penyelenggara sekolah inklusi ada sebanyak 44.477 unit.

Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebanyak 8.675 dibandingkan dengan tahun 2021 yang hanya memiliki sekolah inklusi sebanyak 35.802 sekolah.

Selain itu, sejalan dengan meningkatnya jumlah penyelenggara pendidikan inklusi, total siswa berkebutuhan khusus yang mengenyam pendidikan di sekolah tersebut juga naik, yang sebelumnya di tahun 2021 hanya 126.458, kini menjadi 146.205 siswa.

Untuk pengoptimalan pendidikan di sekolah inklusi, Kemenko PMK saat ini juga sedang menggodok skema pendanaan khusus yang menunjukkan bahwa negara betul-betul memikirkan kepentingan dari para penyandang anak penyandang disabilitas.

Selama ini pendanaan sekolah inklusi hanya melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), meski dinilai sudah cukup fleksibel, namun Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk sekolah inklusi diperlukan guna meningkatkan mutu pelayanan sekolah.

Nantinya DAK tersebut diprioritaskan untuk membangun sarana dan prasarana yang menunjang pembelajaran bagi siswa inklusi.


Pengalaman siswa inklusi

Ibnu Fatur Maulana (16) merupakan seorang siswa berkebutuhan khusus yang merasakan kesetaraan dalam sistem pendidikan penyelenggaan sekolah inklusi.

Fatur yang kini duduk di kelas 10 Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 3 Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, merupakan anak yang mengidap "low vision".

Kondisi ini membuat Ibnu Fatur Maulana kehilangan sebagian penglihatan, namun masih bisa melihat cahaya, bentuk suatu benda, dan huruf secara terbatas.

Fatur bertutur mengenyam pendidikan tingkat sekolah dasar (SD) di sebuah sekolah luar biasa (SLB), tetapi saat memasuki jenjang sekolah menengah pertama (SMP), orang tuanya memutuskan memasukkannya ke sekolah reguler, yakni SMP Negeri 23 Kota Padang.

Dia sempat mengalami rasa malu untuk bermain dengan anak normal seusianya semasa masih duduk di bangku SD, bahkan tidak jarang Fatur mengalami diskriminasi karena kondisi fisiknya.

Namun, hal itu tak lagi ditemuinya saat ia bersekolah di SMP maupun SMA reguler.

Dengan mengenyam pendidikan di sekolah reguler, ia justru memiliki banyak teman, serta rasa percaya diri Fatur untuk dapat hidup bersosial di tengah masyarakat juga mulai meningkat.

Ketika jam istirahat Fatur berbaur dengan teman sebaya, ia membeli makanan jajan, dan minuman favoritnya sambil membicarakan tugas yang diberikan oleh guru, dengan santai.

Hal lain yang membuat Fatur nyaman belajar di sekolah reguler adalah adanya guru pendamping khusus (GPK).

Sosok guru pendamping khusus tersebut berperan sebagai teman, pengajar, serta tampil sebagai penenang bagi para siswa berkebutuhan khusus.

Di sela-sela waktu istirahat, sambil membawa jajanan, Fatur bersama dengan anak-anak penyandang disabilitas lainnya kerap kali berkumpul dengan guru pendamping yang ada di sekolahnya.

Mereka menanyakan hal-hal yang belum dimengerti soal pelajaran yang diterima tadi di dalam kelas.

Kondisi ini tentu tak bisa dilihat jika Fatur menutup diri dan enggan belajar di sekolah inklusi.

Melalui sekolah inklusi Fatur menuturkan harapan atau cita-citanya agar kelak bisa menjadi seorang pengusaha. Karena itu ia berpesan kepada teman sesama penyandang disabilitas lainnya agar tak takut bersekolah di sekolah inklusi.

"Semoga teman-teman yang lainnya juga bisa sama seperti Fatur, punya keinginan melanjutkan pendidikan," ujarnya.


Peran guru pendamping 

Guru pendamping khusus (GPK) memegang peranan penting dalam penyelenggaraan sekolah inklusi.

Sosoknya sangat dibutuhkan oleh para anak berkebutuhan khusus, karena GPK pada dasarnya dibekali kemampuan teknis untuk menangani secara komprehensif terkait permasalahan yang dialami anak dengan status penyandang disabilitas.

Maisy Murni (33) merupakan seorang GPK yang bertugas di SMPN 23 Kota Padang. Di sekolah itu ia bersama dengan tiga orang rekannya menjadi guru pendamping bagi 28 siswa berkebutuhan khusus.

Untuk membantu anak didiknya memahami pelajaran di dalam kelas, ia bersama rekannya membuat semacam program khusus.

Program tersebut adalah mendetailkan dan mencatat karakteristik seluruh siswa disabilitas yang ada di sekolahnya, dan kemudian disampaikan melalui hasil asesmen.

Menurut Maisy Murni, isi pencatatan itu nantinya berguna untuk mengetahui kemampuan belajar sang anak, sehingga kurikulum atau standar penilaian guru reguler terhadap anak difabel bisa disesuaikan dengan hasil asesmen yang dilakukan oleh para GPK tersebut.

Selain melakukan asesmen karakter, dirinya juga berperan untuk mengajari anak cara bersosialisasi serta memberikan motivasi supaya para anak berkebutuhan khusus mau menunjukkan bakat dan minatnya terhadap suatu hal.

Untuk memenuhi kebutuhan GPK di setiap sekolah penyelenggara sekolah inklusi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah merencanakan membuat program pendidikan dan pelatihan (diklat) berjenjang bagi para guru reguler, untuk dapat belajar mengenai cara menangani anak berkebutuhan khusus.

Dengan demikian, maka kehadiran negara untuk menyauti kebutuhan anak difabel ini betul-betul maksimal dan semakin dirasakan manfaat besarnya oleh anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik tertentu. 

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023