Jakarta (ANTARA) - Guru Besar dalam Bidang Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof dr Aida Lydia PhD mengatakan deteksi dini glomerulonefritis (GN) berperan dalam mencegah gagal ginjal kronis pada generasi muda.

Prof Aida dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin menyebutkan Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan utama di dunia dengan prevalensi global sebesar 13,4 persen.

 Jumlah disability-adjusted life years (DALYs) PGK juga meningkat sebesar 93 persen dari 21,5 juta menjadi 41,5 juta pada 1990 hingga 2019.

Data global menunjukkan bahwa penyebab gagal ginjal terbanyak di dunia adalah diabetes, hipertensi, dan diikuti glomerulonefritis. Angka kejadian glomerulonefritis berbeda di setiap negara. Di negara dengan penghasilan rendah-menengah, glomerulonefritis menempati penyebab nomor dua setelah diabetes, dan menyumbang sekitar 20–25 persen kasus PGK di dunia.

"Jika GN diketahui sejak dini dan diberikan terapi optimal, kemungkinan pasien dapat sembuh, atau remisi parsial, sehingga progresivitas penyakit dapat dihambat. Namun, jika terlambat, penyakit akan berlanjut menjadi PGK dan gagal ginjal," katanya.

Baca juga: Presiden setujui pemberian bantuan untuk korban gagal ginjal akut 

Baca juga: Boleh kah pasien gagal ginjal berolahraga?


Prof Aida mengatakan Glomerulonefritis merupakan penyakit immune-mediated (dimediasi kekebalan tubuh) yang ditandai dengan peradangan dan kerusakan pada glomerulus ginjal. Glomerulus merupakan suatu gelung pembuluh darah kapiler yang berperan menyaring darah untuk membentuk urin.

"Pada kasus GN, barier filtrasi terganggu sehingga terjadi kebocoran protein dan sel darah merah di dalam urin. Jika tidak diobati secara dini, penyakit ini akan berlanjut progresif hingga pasien mengalami gagal ginjal dan memerlukan terapi penggantian ginjal (dialisis atau transplantasi ginjal)," tambahnya.

Prof Aida mengatakan bahwa tanda awal dari GN adalah ditemukannya protein dan atau sel darah merah pada urin. Namun, pasien sering kali tidak menyadarinya. Kondisi tersebut terdeteksi saat seseorang menjalani pemeriksaan kesehatan umum (general check-up).

Akan tetapi, sambungnya, apabila kebocoran protein cukup banyak, pasien akan mengalami keluhan urin berbusa, dan terkadang disertai keluhan urin berwarna merah.

Kebocoran protein yang tergolong masif dalam urin juga menyebabkan protein darah berkurang dan menimbulkan keluhan bengkak pada kelopak mata, kaki, atau seluruh tubuh, ujarnya.

"Untuk menangani kasus GN, terapi suportif merupakan upaya yang harus diterapkan, seperti pembatasan asupan garam, stop merokok dan minum alkohol, menjaga berat badan ideal, serta mengonsumsi obat sesuai anjuran dokter," ucapnya.

Untuk itu, Prof Aida menjelaskan ada tiga kategori pencegahan untuk kasus GN, yaitu pencegahan primer, sekunder,dan tersier. Pencegahan primer berarti mencegah timbulnya penyakit seperti upaya promosi kesehatan, menerapkan pola hidup sehat, dan menciptakan lingkungan yang sehat.

Pencegahan sekunder, sambungnya, adalah diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment). Sementara, pencegahan tersier meliputi penatalaksanaan komplikasi dan mencegah kecacatan.

Untuk itu, Prof Aida mengusulkan adanya gerakan bersama antara dokter, organisasi profesi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), guru/pendidik, dan masyarakat dalam menangani kasus ini agar kesehatan ginjal generasi muda Indonesia tetap terjaga.

Baca juga: Kemenkes: Tidak semua rumah sakit bisa tangani kasus gagal ginjal akut

Baca juga: Rujukan tepat waktu memperingan pasien ginjal kronik


 

Pewarta: Sean Muhamad
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023