Ya saya rasa pemimpin ga harus, menurut saya, jadi capres ataupun cawapres. Kita kan bisa menjadi pemimpin dalam bentuk apapun, dalam organisasi semua kan bisa sebenarnya
Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep menanggapi hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin terkait uji materi terhadap Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia minimal capres dan cawapres.
 
Ditemui di Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan, Senin, Kaesang mengatakan bahwa pemimpin tidak harus menjadi capres dan cawapres.
 
"Ya saya rasa pemimpin ga harus, menurut saya, jadi capres ataupun cawapres. Kita kan bisa menjadi pemimpin dalam bentuk apapun, dalam organisasi semua kan bisa sebenarnya," ujar putra bungsu Presiden Joko Widodo tersebut saat ditemui di Jakarta, Senin.
 
Ia mengatakan bahwa mungkin anak muda masih butuh waktu yang sedikit lebih lama untuk menjadi pemimpin tertinggi di Indonesia.
 
"Ya perlahan lah karena tadi ditolak. Tapi kita lihat saja mungkin lima atau sepuluh tahun ke depan anak muda jauh lebih diterima untuk menjadi seorang pemimpin di Indonesia," ujarnya.

Baca juga: Yusril sebut MK buktikan bukan "Mahkamah Keluarga"
 
Meski begitu, Kaesang menegaskan bahwa PSI akan terus memberikan kesempatan bagi anak muda yang ingin menjadi seorang pemimpin atau ketua baik di tingkat DPP, DPD dan sebagainya.
 
"Ketua DPW (PSI) di Sulut juga dari umur 23 atau 24 jadi ketua DPW, mau bagaimanapun kita terbuka untuk seluruh anak muda yang ingin bergabung dengan  PSI dan kami akan selalu memberikan kesempatan buat mereka," lanjutnya.
 
Selepas putusan MK tersebut, Kaesang belum memastikan apakah akan terus memperjuangkan tentang batasan usia capres-cawapres.
 
Menurutnya, PSI akan memilih untuk fokus merumuskan rancangan undang-undang (RUU) apa saja yang harus menjadi prioritas bagi DPR RI untuk membahasnya.
 
Ke depannya kita meminta masyarakat RUU mana yang menjadi prioritas masyarakat, dan kita akan membuka polling," tutur Kaesang.
 
Mahkamah Konstitusi menolak uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai penyelenggara negara.

Baca juga: Wapres Ma’ruf: Pemerintah menerima putusan MK
 
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan/ketetapan di Gedung MK RI, Jakarta, Senin.
 
Perkara tersebut diajukan oleh Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa.
 
Dalam petitumnya, mereka juga memohon usia capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.
 
Mahkamah berkesimpulan bahwa pokok permohonan yang diajukan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
 
"Pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk keseluruhannya," ucap Anwar membacakan konklusi.
 
Lebih lanjut, mahkamah berpendapat pemberian pemaknaan baru terhadap Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu sebagaimana permohonan para pemohon dalam petitumnya akan menyebabkan kontradiksi.
 
Hal itu karena akan melarang seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk dicalonkan sebagai capres atau cawapres, sekaligus membolehkan seseorang yang berusia di bawah 40 tahun sepanjang memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.
 
"Menurut mahkamah, ketentuan Pasal 169 huruf (q) UU 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) ternyata tidak bertentangan dengan perlakuan yang adil dan diskriminatif," kata Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pertimbangan mahkamah.
 
Terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim konstitusi, yakni Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah atas putusan tersebut.
 
Sebelumnya, MK juga menolak uji materi pasal yang sama yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Garuda.

Baca juga: MK tolak uji materi batas usia capres-cawapres 40 tahun
Baca juga: Gibran: Jangan bahas MK terus

Pewarta: Hendri Sukma Indrawan
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2023