Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat dan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden belum bisa dijadikan acuan sepanjang belum adanya perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

"Sepanjang belum ada perubahan UU Pemilu, maka Putusan MK tersebut belum bisa dijadikan acuan. Maka, KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebaiknya tetap berpedoman pada UU yang masih berlaku," kata Yanuar dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Sebab, kata dia, putusan MK tersebut memerlukan revisi UU Pemilu untuk menjadi pedoman KPU, sedangkan waktu pendaftaran capres-cawapres sendiri sudah di depan mata.

"Waktu sudah sangat mepet. Pendaftaran capres/cawapres dibuka tanggal 19-25 Oktober 2023," ucapnya.

Untuk itu, Yanuar menilai mekanisme perubahan UU Pemilu akan dilakukan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Baca juga: Yusril: Putusan MK problematik dan terjadi penyelundupan hukum

Baca juga: Pakar sebut ada kejanggalan dalam putusan MK


"Kemungkinan besar mekanisme perubahan UU Pemilu akan ditempuh melalui Perppu," ujarnya.

Di awal, dia menilai bahwa putusan MK tersebut melampaui kewenangan-nya, sebab syarat capres-cawapres merupakan ranah kewenangan pembuat undang-undang.

"Ini preseden buruk bagi kewibawaan dan kehormatan MK. Namun, jangan lupa Putusan MK ini bersifat final dan mengikat sehingga tidak ada pilihan harus dilaksanakan," katanya.

Dia juga menilai putusan MK tersebut terkesan sangat dipaksakan. "Seperti mencari celah untuk akomodir cawapres tertentu. Kepentingan politik terasa lebih kuat ketimbang supremasi hukum," ucapnya.

Selain itu, Yanuar menilai putusan yang mengabulkan syarat alternatif pernah atau sedang menjadi kepala daerah juga membuat MK masuk ke dalam ranah politik.

"MK memang tetap mempertahankan usia 40 tahun bagi capres dan cawapres sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, namun dengan menambahkan alternatif sebagai norma baru menjadi jelas posisi MK bukan lagi penjaga konstitusi tapi sudah tergelincir dalam kompetisi politik," katanya.

Baca juga: Bivitri Susanti: Putusan MK gambarkan perdebatan alot hakim konstitusi

Baca juga: Pengamat: Putusan MK jadi "karpet merah" Gibran maju Pilpres 2024


Sehingga, ujarnya lagi, wajar apabila ada dua hakim konstitusi yang menyatakan argumen berbeda tetapi kesimpulan sama (concuring opinion), dan empat hakim konstitusi yang menyatakan berpendapat berbeda (dissenting opinion).

"Ini bentuk kreatiifitas berpikir yang kebablasan sehingga terkesan dipaksakan. Maka wajar saja tidak semua hakim MK menyetujui bulat putusan ini karena dianggap 'aneh' dan 'di luar nalar'," kata dia.

Sebelumnya, Senin (16/10), Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023