Surabaya (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga Surabaya Dr. Mohammad Syaiful Aris, S.H., M.H., L.L.M., menyebut ada kejanggalan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

"Jika melihat aspek konstitusi-nya, syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden telah diatur lebih lanjut dalam undang-undang karena merupakan open legal policy, yaitu kebijakan hukum terbuka yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," kata Aris, sapaannya di Surabaya, Jawa Timur, Selasa. Termasuk di dalamnya adalah syarat usia yang seharusnya diatur oleh DPR dan Presiden yang memiliki kewenangan.

"Dari aspek konstitusi-nya ya kalau saya lihat, hal ini masuk kebijakan terbuka. Hal ini akan menjadi riskan ya kalau kemudian Mahkamah Konstitusi banyak memasukkan norma-norma baru di dalamnya," ucap dia. Hal itu, kata Aris, akan menjadi satu penilaian publik dikhawatirkan ke depan ini akan menjadi satu catatan terhadap eksistensi MK, karena publik akan menilai apakah memang putusan ini memiliki nilai-nilai tertentu atau tidak.

Aris juga menyoroti sentimen publik atas kedekatan Ketua MK Anwar Usman dengan keluarga Presiden Joko Widodo. Karena Anwar Usman ini tidak bergabung dalam rapat musyawarah yang pertama, namun setelah dia bergabung maka keluarlah hasil berbeda dengan yang telah dimusyawarahkan. Menurut Aris, untuk menepis anggapan publik itu harusnya sebagai seorang hakim harus memiliki integritas agar dihormati oleh publik dan masyarakat percaya kalau hakim itu berpegang teguh pada prinsip serta hakim dengan prinsip keputusan yang betul-betul independen yang didasarkan pada aspek hukum semata.

Baca juga: Pengamat: Putusan MK jadi "karpet merah" Gibran maju Pilpres 2024

Baca juga: Putusan MK beri peluang Gen Z jadi Presiden RI


"Yang pasti seorang hakim harus menekankan pada dua prinsip tadi impersialitas dan integritas. Jadi menghasilkan suatu keputusan berkepentingan untuk publik," tuturnya. Sementara itu, proses jalannya keputusan MK ini tidak bisa dinilai secara langsung apakah ada kepentingan tertentu di dalamnya karena terdapat proses internal yang tidak diketahui publik.

Hanya saja, memang menjadi perhatian masyarakat saat ada hakim yang terlihat memiliki perbedaan pendapat dengan hasil putusan yang dibacakan MK. "Dalam putusan yang disampaikan oleh para hakim MK, saya melihatnya ada beberapa yang waktu membacakan hasil putusan itu terlihat kesan ada sesuatu yang mau diungkapkan," katanya.

"Mungkin ada sesuatu di balik konteks itu, tapi sekali lagi karena tidak tahu ya sebenarnya apa yang terjadi di internal rapat musyawarah. Sehingga yang keluar atau yang menjadi keputusan final tidak bisa diganggu gugat lagi sebagai keputusan akhir dari mahkamah konstitusi," tambahnya. Meskipun dirasa cukup ada kejanggalan dalam putusan yang terkesan mengambil ranah open legal policy, Aris mengungkapkan putusan MK ini sudah bisa berjalan untuk Pemilu 2024.

Baca juga: Yusril: Putusan MK problematik dan terjadi penyelundupan hukum

Baca juga: Bivitri Susanti: Putusan MK gambarkan perdebatan alot hakim konstitusi


Nantinya secara operasional putusan MK ini akan setara dengan undang-undang. Tinggal diteruskan secara teknis oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk melakukan perubahan terhadap syarat pencalonan presiden dan wakilnya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait enam gugatan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait batas usia capres-cawapres secara beruntun pada Senin (16/10). Dari enam gugatan tersebut, tiga di antaranya ditolak, dua tidak diterima, dan satu diterima sebagian.

Salah satu putusan MK yang mendapat sorotan yakni hakim MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia capres dan cawapres diubah menjadi 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Pewarta: Willi Irawan
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023