Klungkung (ANTARA) - Pendet pasepan telah dikenal sebagai tarian sakral yang melekat dalam tradisi masyarakat Desa Pakraman Batununggul, Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali.

Tari pendet pasepan merupakan ragam tarian yang memadupadankan antara olah gerak tari rejang dewa yang dikolaborasikan dengan lantunan irama tari.

Gerakan tari pasepan ini memiliki perpaduan antara gerak asal dan gerak baru dalam tari pendet yang dilakukan secara berulang, diiringi tempo gamelan yang pelan.

Pencipta tari pendet pasepan Luh Widarti kepada ANTARA menjelaskan, tari ini adalah satu bentuk kreasi berkesenian yang berada pada pakem di antara sakral dan profan. Sakral merujuk pada sesuatu yang memiliki makna suci, sedangkan profan bermakna sebagai sesuatu yang bersifat umum atau biasa.

Tarian yang diciptakan pada tahun 2017 ini pertama kali ditampilkan pada rangkaian upacara keagamaan yang berlangsung di Banjar Mentigi, Desa Pakraman Batununggul.

Seiring berjalannya waktu, tarian ini kian marak ditampilkan dalam berbagai prosesi keagamaan, seperti pada saat piodalan (selamatan berdirinya pura), hingga tradisi "ngaturang pekelem" yang menjadi pembuka Festival Nusa Penada di setiap tahunnya.

Selain itu, tari pendet pasepan juga kerap kali ditampilkan ketika prosesi "mesucian" atau "pemelastian" dengan tujuan utama sebagai wujud rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sekaligus penyucian jagat alit (buana alit) dan jagat agung (buana agung) dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali.

Tari pendet pasepan merupakan tari penyambutan dengan nilai kesakralan yang akan muncul beriringan dengan "pasepan" yang dibawa oleh para penarinya.

Sebagai bentuk semarak suka cita, para penari pendet pasepan ini tampil mengenakan pakaian dengan nuansa putih kuning, yakni kebaya putih, kamben kuning, yang dibalut pula dengan selendang berwarna kuning.

Menurut kepercayaan umat Hindu, warna putih kuning ini memiliki keterkaitan, utamanya dengan prosesi upacara keagamaan.

Warna putih melambangkan Dewa Iswara yang menguasai serta melindungi arah timur. Sementara itu, warna kuning merupakan simbolis dari Dewa Mahadewa sebagai penguasa arah barat.

Jika tari pendet pada umumnya menggunakan bokor atau nampan cekung yang diisi dengan bunga berwarna-warni serta janur kuning sebagai properti, tari pendet pasepan ini menyuguhkan konsep properti yang berbeda.

Daya tarik utama dari tari pendet pasepan ini terletak dalam pelibatan properti yang memiliki ciri khas tersendiri. Pada saat perhelatan, sesuai dengan nama tariannya, para penari akan memegang "pasepan" atau tungku bara api yang melambangkan wujud persembahan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Properti "pasepan" ini akan dibawa oleh tiap-tiap penari di tangan kanan dan turut menjadi pelengkap dari ragam gerak tarian pendet pasepan.

Kendati demikian, jika pada umumnya "pasepan" identik dengan nyala bara dari potongan kayu kecil yang diletakkan di atas wadah atau dulang kecil, "pasepan" dalam tarian ini disuguhkan dalam konsep yang berbeda.

Sebagai unsur properti dan pelengkap tarian, "pasepan" dalam tari pendet ini berisi canang sari dan dupa sebanyak tiga buah. Selama tarian berlangsung, tiga dupa yang ditancapkan pada "pasepan" tersebut dinyalakan, sehingga semerbak wangi akan terpancar.

Pelibatan "pasepan" menegaskan bahwa tarian ini merupakan simbolis dari penyambutan rasa syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala anugerah yang dilimpahkan.


Maskot desa 

Pencipta tari pendet pasepan, Luh Widarti, menerangkan bahwa sebelumnya tari pendet pasepan ini hanya ditampilkan di Desa Mentigi sebagai pengiring dari upacara keagamaan.

Kini, tari pendet pasepan telah dikukuhkan sebagai maskot dari Desa Pakraman Batununggul.

Pengukuhan tari pendet pasepan sebagai maskot Desa Pakraman Batununggul ini telah melalui serangkaian prosesi keagamaan yang disebut dengan istilah "pasupati".

"Pasupati" adalah proses sakralisasi menurut keyakinan masyarakat Hindu di Bali yang ditujukan kepada Sanghyang Pasupati, sebagai bentuk permohonan untuk memberikan kekuatan magis terhadap benda atau kebudayaan tertentu.

Usai dikukuhkan sebagai maskot, tari pendet pasepan ini hanya dapat ditarikan di Desa Pakraman Batununggul, sehingga penari dari tari pendet pasepan ini tidak boleh sembarang orang, melainkan warga masyarakat Desa Pakraman Batununggul, yang terdiri dari lima banjar adat, yakni Banjar Mentigi, Sampalan, Geria Tengah, Batununggul, dan Banjar Tainbesi.

Tidak hanya ragam gerak tarian, penari dalam pendet pasepan ini turut mengedepankan prinsip kolaborasi.

Pasalnya, tarian ini tidak hanya diperuntukkan bagi penari di kalangan remaja atau orang dewasa semata, tetapi tarian ini dapat ditarikan oleh berbagai jenjang penari, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa.

Penari yang dilibatkan dalam pendet pasepan ini tidak dipatok, umumnya dalam upacara piodalan jumlah penari berkisar antara 20-25 penari, tetapi jika sudah memasuki rangkaian festival bisa mencapai angka ratusan penari.

Para penari pendet pasepan ini pun bersifat secara sukarela atau dikenal dengan istilah "ngayah" sebagai aktualisasi nilai-nilai Tri Hita Karana.

Durasi dari tari pendet pasepan ini hanya mencapai kurun waktu selama 5 menit dengan iringan tari menggunakan terompong dalam gamelan khas Bali.

Dalam hal ini antara tarian dan tabuh harus bisa memadukan gerakan dengan irama gamelan, sehingga harmonisasi olah gerak dan olah suara dapat terpancar.

Koordinator sekaligus penggagas tari pendet pasepan Luh Widarti mengungkapkan harapannya tari pendet pasepan ini dapat semakin dikenal dan diterima oleh masyarakat umum.

Melalui tari pendet pasepan ini, unsur budaya, magis, dan pariwisata akan menjadi pilar yang kokoh dalam menciptakan daya tarik Pulau Bali, salah satunya melalui Desa Pakraman Batununggul, Nusa Penida, Klungkung.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023