Pemerintah Jepang tidak pernah dan tidak akan melepas 'advanced liquid processing system' (ALPS) ke laut apabila membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan laut.
Tokyo (ANTARA) - Tanpa jeda, penjepit di sudut pasar swalayan Kota Chigasaki, Prefektur Kanagawa, itu melaksanakan tugasnya yang dikendalikan tangan-tangan pembeli untuk memindahkan salmon beku dari boks besar ke kantung-kantung kecil.

Di sudut lain, pegawai sibuk mengisi ruang kosong etalase produk laut yang terus dicomot pembeli seolah tak hirau akan pemberitaan tentang pelepasan lebih dari satu juta metrik ton air olahan (treated water) PLTN Fukushima Daiichi ke Samudra Pasifik sejak 24 Agustus lalu.

Air tersebut digunakan untuk mendinginkan teras reaktor yang meleleh akibat hantaman gempa dan tsunami 12 tahun silam. Akibatnya, banyak terkandung radio isotop atau zat radioaktif dalam air itu, termasuk salah satu yang menjadi perhatian adalah tritium.

Tritum, dalam kadar tertentu, merupakan satu di antara zat radioaktif berbahaya sebab dapat memancarkan radiasi beta yang mampu merusak kromosom dan sel dalam tubuh sehingga menyebabkan kanker dan dalam jumlah besar dapat membunuh biota laut.

Namun, pakar nuklir The University of Electro-Communications Tokyo Raka Firman Baskara, menjelaskan zat radioaktif berpengaruh signifikan apabila paparan itu terjadi dalam jumlah besar di waktu yang singkat, seperti saat ledakan.

“Bila terjadi dalam radiasi kecil dan dalam waktu yang sangat panjang, tubuh masih bisa melakukan regenerasi. Sebetulnya, kita tidak sepenuhnya bebas dari zat radio aktif, bahkan dalam pisang dan susu pun mengandung zat radioaktif,” katanya.

Dalam kasus Fukushima Daiichi, Raka mengatakan sebagian besar zat radioaktif yang terkandung dalam air olahan itu sudah meluruh sebab sudah disimpan selama 12 tahun, waktu yang cukup untuk mengurai zat-zat tersebut.

Berdasarkan data Perusahaan Listrik Tokyo (TEPCO), kandungan tritium pada air yang dilepas itu sebanyak 6,1 sampai 6,8 Bq/L atau di bawah kandungan yang dapat ditoleransi tubuh manusia, yakni hingga 11 Bq/L. Hasil tersebut berdasarkan pengambilan sampel di 10 titik yang berjarak tiga kilometer dari PLTN Fukushima Daiici.
 

Lebih aman

Untuk itu, Pemerintah Jepang--berdasarkan persetujuan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA)--mengeluarkan kebijakan untuk mengalirkan limbah tersebut ke Samudra Pasifik karena tangki-tangki yang dapat memuat hingga 1,3 juta ton air sudah tidak sanggup lagi menampung.

Tindakan itu dinilai jauh lebih aman ketimbang membiarkan air itu tertampung dalam tanki yang berpotensi menyebabkan kebocoran dan mengalir ke tanah yang volumenya tidak sebanding dengan air laut.

“Analoginya begini, kita punya 10 sendok kopi kalau kita larutkan dalam satu gelas air, efeknya pasti pekat, pahit sekali. Tapi kalau 10 sendok kopi itu kita larutkan dalam satu baskom, airnya tidak akan begitu terasa,” katanya.

Untuk itu, kepekatan kandungan tritium akan jauh berkurang dalam air laut yang secara alami juga terdapat zat tersebut.

Tritium di alam itu sendiri sudah ada. Jadi, atmosfer dan lautan itu ada yang disebut dengan siklus hidrogen. Di air juga sudah ada tritium.

Namun, Pemerintah Jepang dalam pernyataan resminya siap untuk menunda pelepasan air olahan itu apabila dalam prosesnya konsentrasi radioaktif melampaui standar.

“Pemerintah Jepang tidak pernah dan tidak akan melepas advanced liquid processing  system (ALPS) ke laut apabila membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan laut,” kata Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kanusgi Kenji.

Dubes Kenji menjelaskan Jepang melakukan tiga pengawasan, yakni pengawasan air olahan di tangki, pengawasan secara seketika atau real-time, dan pengawasan air laut.

Jepang berencana untuk membatasi kandungan tritium dalam air olahan kurang dari 1.500 Bq/L atau di bawah 1/40 standar menurut aturan.

Kandungan itu di bawah batas konsentrasi menurut aturan Jepang, yakni 60.000 Bq/L untuk air buangan serta berdasarkan aturan Badan Kesehatan Dunia (WHO) 10.000 Bq/L dalam panduan kualitas air minum.

"Pemerintah Jepang bersama TEPCO dan IAEA sudah melaksanakan pengawasan dan tidak ditemukan anomali. Kandungan nuklida, termasuk tritium di laut dan produk laut jauh di bawah standar," katanya.

Namun demikian, kebijakan Jepang itu memantik reaksi dari sejumlah negara, yakni China dan Rusia berikut pula Hong Kong dan Macau yang menangguhkan sementara impor ikan dari Jepang.

Larangan impor berlaku untuk produk dari 10 prefektur, yaitu Fukushima, Miyagi, Ibraki, Tochigi, Gunma, Saitama, Chiba, Tokyo, Nagano dan Niigata.

Produk makanan laut yang terkena imbas larangan impor itu meliputi semua makanan hidup laut, beku, didinginkan, dikeringkan, atau diawetkan, garam laut, rumput laut termasuk produk olahannya.
 

Tetap makan ikan

Sebaliknya, berdasarkan pantauan di sejumlah gerai dan pusat perbelanjaan, warga tetap membeli produk laut yang sebagian besar dikonsumsi mentah, seperti olahan untuk sushi dan sashimi.

“Saya masih membeli ikan dan itu tidak masalah sama sekali,” kata warga Jepang Leo Hoshino.

Hal senada juga disampaikan diaspora Indonesia, Purwati Kasmaja, yang sudah bermukim di Jepang selama 23 tahun dan mengaku tidak terpengaruh dengan adanya kebijakan tersebut.

“Secara logika orang Jepang itu kan pemakan ikan mentah. Kalau itu membahayakan--kondisi ikan di mana pun berada--, Jepang serta-merta buang dengan sengaja,” katanya

Purwati dan suaminya warga Jepang masih membeli produk laut hingga saat ini dan meyakini bahwa produk-produk itu aman.

“Seandainya orang enggak mempercayainya, mereka harus membuktikan, mengambil sampel bahwa ternyata dampak ke ikan sejauh apa. Sampai saat ini belum ada yang membuktikan bahwa yang dibuang itu limbah berbahaya,” katanya.

Purwati bercerita saat kejadian tsunami 2011 lalu saat dia sudah berada di Jepang, pihaknya bertemu dengan tim peneliti yang melakukan riset penanaman sayuran, seperti terung dan cabai di lahan terdampak ledakan nuklir Fukushima.

“Salah satu doktor dengan grupnya menguji coba apakah terjadi kelainan bentuk atau apa, ternyata sudah aman dan beliau konsumsi,” ujarnya.

Begitu pula WNI lainnya, Dewi Lastmi, yang merasa lebih aman mengonsumsi produk lokal Jepang, termasuk ikan.

“Kami merasa lebih aman dan nyaman memakai atau memakan produk lokal Jepang, mau dari Fukushima atau dari mana karena itu we know lah (kita tahu) kalau Jepang teratur dan kalaupun ada missed (terlewat) cepat diperbaiki,” kata wanita yang sudah 5 tahun tinggal di Jepang itu.

Dia juga berpesan terutama untuk diaspora Indonesia agar melakukan cek berulang guna memastikan kebenaran suatu informasi, dalam hal ini, terkait pelepasan air limbah nuklir PLTN Fukushima.








 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023