Langit Beijing merona kelabu. Awan dan kabut menghalangi sinar matahari menerangi kota berpenduduk lebih dari 20 juta ini. Hujan gerimis membasahi gedung bergaya tradisional dan bercat merah, kampus kebanggaan China, Universitas Beijing.

Di kelilingi rimbun pohon dan danau, di salah satu ruangan kampus tua, Profesor Yao Yang memulai pengantarnya tentang kondisi China terkini. Dekan The National of Development, Universitas Peking (Beijing) itu mengenakan kemeja polo biru berkotak-kota kecil, berlengan panjang yang digulung, tanpa saku, serta celana panjang berbahan kasual.

Dari bibir pakar ekonomi China berusia 49 tahun ini muncul pernyataan bernas yang acap kali mengagetkan. Menurut pandangan dia, China bukanlah negara komunis, melainkan negara yang berorientasi pasar.

Pengembangan pasar dan peningkatan ekspor adalah tujuan utama agar kue (hasil pembangunan) bisa dibagikan ke masyarakat.

Sesuai dengan kepakarannya di bidang ekonomi, profesor pada China Center for Economic Research itu mengatakan sejarah menunjukkan bahwa negara maju besar karena ekspor.

Dia juga mengatakan bahwa China membutuhkan pemimpin yang kuat agar dapat menggerakkan penduduk berjumlah besar berikut potensi alamnya. Seorang pemimpin adalah orang yang menggerakkan dan menentukan akan dibawa ke mana negara.

Peraih gelar doktor di Universitas Wisconsin, Madison, Amerika, itu juga mengakui bahwa pada tahap awal, arah yang hendak dituju negaranya tidak jelas. Semua dalam tahap perjuangan. Karena itu pula, menurut dia, kesalahan fatal yang dilakukan negaranya di masa lalu adalah mengekspor ideologi ke negara lain.

Kini, menurut profesor tamu di Aichi University, Nagoya, Jepang, itu semuanya sudah terarah, yakni berorientasi pasar.

Namun, ketika ditanya tentang Chinese Dream yang dipopulerkan Presiden Xi Jinping, penulis banyak jurnal ilmiah dan juga artikel populer itu menyatakan bahwa itu sekadar slogan politik untuk menggerakkan anak bangsa dalam mengejar cita-citanya.

Mimpi China kini sedang didengung-dengungkan oleh pemerintah China. Xi memopulerkannya pada awal tahun ini. Xi menggambarkan mimpi itu sebagai pembaruan negara, perbaikan kehidupan masyarakat, kesejahteraan, penataan kehidupan sosial yang lebih baik dan penguatan militer.

Menurut jurnal partai komunis China, Qiushi, Mimpi China adalah kesejahteraan, dukungan kolektif, sosialisme dan kejayaan negara.

Kata Chinese Dream sendiri diperkenalkan oleh wartawan Amerika Serikat Thomas Friedman dalam sebuah artikelnya di New York Times yang berjudul "China Needs Its Own Dream".

Apapun, kedengarannya Mimpi China mirip dengan Mimpi Amerika. Namun, jika ditanya keterkaitannya, maka pejabat partai akan mengatakan bahwa itu adalah dua hal yang berbeda.

Mimpi Amerika didasarkan pemenuhan individualisme, sementara Mimpi China didasarkan pada tujuan dan cita-cita negara (nasionalisme). Adalah Gao Yong Zhong, Wakil Ketua Pusat Penelitian Sejarah Partai Komunis China yang memperkuat pernyataan tersebut.

Gao juga menyatakan pendapat Prof Yao Yang tentang negara berorientasi pasar (market country) adalah pendapat pribadi. Partai tidak menghukum dia karena pernyataan itu.

Sikap itu menunjukkan bahwa partai tidak menghukum pribadi yang berbeda pendapat. Gao yang mengenakan baju lengan panjang berwarna abu-abu gelap dan berkening lebar itu menceritakan demokrasi di negaranya.

Dia juga menjelaskan bahwa demokrasi yang dikembangkan sesuai dengan karakteristik China. Ketika ditanya, apakah ada partai lain di China, Gao yang kala mudanya menjadi wartawan dan bertugas di sejumlah negara di Asia Tenggara mengatakan saat ini terdapat delapan partai yang eksis. Dia tidak menyebutkan nama-nama partai tersebut.

China saat ini memang jauh berubah daripada China 10 apa lagi 20 tahun lalu, terutama di kota-kota besar seperti Shen Zhen, Shanghai dan Beijing. Semua berlari mengejar modernisasi.

Wajah komunis yang keras tidak terlihat di jalanan kota besar, tetapi jika melongok ke pedalaman kondisi itu mungkin kentara. Kesenjangan sosial dikhawatirkan akan menjadi momok bagi kemajuan daerah tertentu China.

Pemerintah agaknya tahu bagaimana menanganinya. Di Desa Batang, sekitar 70 kilometer dari Beijing, pemerintah lokal memberdayakan penduduk lokal di lembah yang diapit dua bukit tinggi sebagai daerah wisata.

Pemerintah memberi uang 22.000 renimbi (satu renimbi setara Rp1.600) kepada setiap kepala, membantu pembangunan rumah tradisional dan mengajarkan kebersihan pada petani.

Kini, wilayah itu menjadi salah satu tempat favorit warga Beijing untuk menginap dan berwisata pada dua hari "week end", Senin dan Selasa. Keluarga yang ingin menghilangkan penat di kota besar harus memesan seminggu sebelumnya untuk mendapatkan penginapan sederhana ala pedesaan.

Tarif yang digunakan tetap dan sama untuk semua penginapan yang dibangun sejak 2006 itu, termasuk, tarif makanan dan layanan.

Kini lembah berhawa sejuk dan beberapa kilometer dari tembok China itu banyak dikunjungi wisatawan. Pendapatan petani dari mengelola penginapan menjadi lebih besar (90 persen) daripada mengelola pertanian.

Namun, jika ditanya pada penduduk Beijing, apakah mimpi mereka, jawabannya beragam. Ada yang mengatakan ingin kaya dan makmur, sebagian menginginkan jadi orang penting dan jalan-jalan keluar negeri.

Namun, ada juga yang bermimpi ingin mencari kerjaan di luar negeri dan tinggal di sana untuk selamanya. Kalangan tua mengatakan, mereka ingin hidup harmonis seperti ajaran Buddha.

Mimpi China, di tingkat individu sudah pasti beragam, pada level pemerintahan dan partai agak berbeda. Kolektivitas dan kejayaan partai dan negara sepertinya di atas segala-galanya. (E007/A013)

Oleh Erafzon Saptiyulda AS
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013