Jakarta (ANTARA) - Energi merupakan kebutuhan manusia dalam beradaptasi melalui berbagai tingkatan perubahan alam, layaknya rantai makanan dalam satu ikatan ekosistem.

Bentuk energi tak selalu kekal, begitulah hukum teori mengatakannya. Bahkan, alam juga menyediakan terbarukan ataupun tidak, seperti fosil. Energi fosil merupakan bahan bakar yang hubungannya paling erat dengan manusia, sebab kini energi itu disebut sebagai sumber energi konvensional.

Lalu apa sumber energi modern? Bersifat latar belakang terbalik, semakin menyadari bahwa energi fosil akan menipis pada masanya, kini peradaban justru melirik alam sebagai penggantinya, akrab disebut sebagai energi nabati yang dapat terbarukan sesuai kebutuhan.

Energi masa depan kini berbalik kembali ke pada alam, bukan lagi fosil atau hasil galian. Ratusan negara berlomba mencari alternatif energi bersumber dari alam. Solusi bahan bakar alternatif mulai satu per satu terkuak, semakin menanggalkan energi fosil seakan layak menyandang sebagai sebutan negara maju.

Satu unsur pengganti alami mencuat dari proses penemuan, yaitu etanol. Etanol atau etil alkohol merupakan cairan yang terdapat dalam alkohol murni. Etanol adalah cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna, dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Etanol dapat terbakar tanpa asap dengan lidah api berwarna biru yang kadang-kadang tidak dapat terlihat pada cahaya biasa. Dengan keistimewaannya dapat terbakar tanpa asap, maka etanol memenuhi syarat sebagai bahan bakar energi terbarukan dengan rendah emisi karbon.

Berbeda dengan metanol yang memiliki reaksi berbahaya bagi manusia jika masuk ke dalam tubuh, etanol masih aman jika terkonsumsi asalkan tidak terkontaminasi dan tidak diubah sifatnya (denatured).

Namun, ini bukan persoalan konsumsi tubuh manusia. Ini adalah upaya meramu formulasi bahan bakar kendaraan yang rendah emisi karbon dan dapat terbarukan sumbernya.

Senior Vice President Research & Technology Innovation Pertamina Oki Muraza menjelaskan bahwa etanol dapat dicampurkan dalam bahan bakar kendaraan sehingga memiliki visi kendaraan bebas emisi mengingat sifat etanol tidak menghasilkan asap.

Sesuai target Indonesia pada 2060 adalah keseimbangan alam Net Zero Emission (NZE), campuran etanol memiliki peluang besar sebagai bahan bakar. Bahkan, di Amerika Serikat, sekitar 97 persen bahan bakarnya mengandung etanol. Sebab, bahan ini bisa membantu mengoksidasi bahan bakar dan mengurangi polusi udara.

Satu lagi kesuksesan etanol terdengar dari negeri samba Brasil. Indonesia bisa mencontoh Brasil sebagai salah satu negara yang dinilai sukses memanfaatkan tebu tidak hanya untuk gula tapi juga untuk etanol.

Bahkan, sejak tahun 1976, pemerintah Brasil telah mewajibkan semua mobil di negaranya harus bisa menggunakan bahan bakar campuran etanol dengan bensin.


Belajar dari Brasil
 

Negeri Samba Brasil, bahkan memiliki cadangan minyak lebih besar dibandingkan Indonesia. Cadangan minyaknya hampir 3 kali lipat dari Indonesia, namun telah berupaya menekan ketergantungan terhadap sumber energi tidak terbarukan ini.

Sejak tahun 1976, pemerintah Brasil dengan tegas telah mewajibkan semua mobil harus menggunakan bahan bakar campuran etanol dengan bensin, yang besarannya beragam, mulai dari 10 persen sampai 22 persen dan terus meningkat sampai sekarang. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Brasil yang dikelola Petrobras menyediakan 2 tipe bahan bakar yaitu etanol dan bensin.

Dengan produksi bahan bakar etanol kedua terbesar di dunia, sekaligus pengekspor terbesar bahan bakar etanol. Brasil dan Amerika Serikat memimpin dalam jumlah produksi bahan bakar etanol. Mereka dianggap sebagai negara yang pertama kali memberlakukan ekonomi bahan bakar bio secara berkelanjutan serta dianggap juga sebagai pemimpin industri bahan bakar nabati atau bio.

Sebagai yang terdepan dalam bioetanol, negara ini  menjadi model bagi sebagian negara lain, dan etanol dari gula yang diproduksi negara ini adalah model bahan bakar alternatif paling berhasil sampai saat ini. Mayoritas pengamat energi menilai berhasilnya etanol disebabkan karena teknologi pertaniannya yang maju, disertai dengan luas lahan yang sesuai, sehingga program yang berjalan di cocok dipraktekkan di sebagian negara tropis, seperti di Indonesia.

Salah satu kuncinya adalah tersedianya lahan tebu yang luas, di mana hasil olah tebu menggunakan teknoilogi mutakhir penghasil etanol. Selain itu, ampas dari tebu digunakan untuk bahan bakar pengolahan etanol, dengan proses efisien tersebut mampu menghasilkan etanol dengan biaya yang kompetitif, Indonesia memiliki semua syarat tersebut.

Faktor pendukung lain adalah dalam penggunaan kebijakan kendaraan umum atau mobil pribadi, setidaknya dapat mewajibkan pengguna menyerap etanol untuk bahan bakarnya dan terus meningkat setiap tahun. Dengan kebijakan tersebut, maka pembuat mobil harus mengkonfigurasikan mesin untuk dapat beradaptasi menggunakan etanol.

Industri mobil dinilai mengembangkan kendaraan bahan bakar fleksibel yang bisa memakai campuran etanol beragam, selang 20-25 persen (E20-25) sampai yang memakai bahan bakar etanol saja (E100), kendaraan berbahan bakar fleksibel ini laris di pasaran.

Kembali ke bahan bakar terobosan etanol. Lalu,  dari mana unsur energi terbarukan? Etanol untuk bahan bakar umumnya berasal dari hasil fermentasi sisa pengolahan tebu menjadi gula (molase) yang diproses sehingga menghasilkan etanol. Proses fermentasi dengan agen biologis ini disebut memiliki nilai tambah pada masa produksi dibandingkan dengan bahan bakar fosil, karena energi pemrosesan yang dibutuhkan lebih kecil.

Seiring berjalan waktu selama proses penelitian, etanol dapat diproduksi tidak hanya dari tanaman tebu, melainkan tanaman pertanian lain dapat menghasilkan etanol setelah melalui proses biologis.

Tanaman tersebut di antaranya adalah sawit, kentang, singkong dan jagung, bahkan kajian riset PT Pertamina dapat menghasilkan etanol dari limbah plastik dengan jenis tertentu.

Dengan berbagai sumber bahan yang melimpah di Indonesia, maka bioetanol sebagai bahan bakar utama kendaraan menggantikan fosil hanyalah menunggu waktu, bukan hal yang mustahil.

Campuran biodiesel sudah dapat diaplikasikan kepada khalayak luas, sedangkan campuran etanol dengan bensin, masih menjadi kajian di Indonesia dengan berbagai pertimbangan.

Penggunaan bahan bakar nabati (BBN) baik biodiesel ataupun bioetanol, pada akhirnya memiliki tujuan yang baik bagi keseimbangan alam. Setidaknya dapat memenuhi komitmen Pemerintah untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29 persen dari pada 2030, meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi, stabilisasi harga minyak sawit, meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi industri kelapa sawit, memenuhi target 23 persen kontribusi EBT dalam total energi mix (campuran) pada 2025 dan mengurangi konsumsi serta impor BBM.

Pertamina mengambil langkah-langkah prioritas dalam pengembangan bahan bakar rendah karbon dan energi baru terbarukan sesuai dengan situasi yang dihadapi Indonesia sebagai negara berkembang. Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati menegaskan bahwa faktor utama dalam pengembangan bahan bakar rendah karbon dan energi baru terbarukan adalah teknologi, ekonomi, dan regulasi.

Ada beberapa faktor yang mengakibatkan tingginya harga bahan bakar rendah karbon. Pertama adalah teknologi dimana dengan pengembangan teknologi dapat menurunkan belanja modal (CAPEX) dan belanja operasional (OPEX). Dalam pengembangan produk baru diperlukan pendekatan holistik dimulai dari rantai pasokan yang lebih panjang hingga ekosistem secara keseluruhan.

Lalu faktor kemampuan ekonomi. Pertamina memerlukan kemampuan ekonomi untuk memulai pengembangan produk. Oleh karena itu, regulasi diperlukan untuk menciptakan permintaan (demand). Faktor berikutnya  adalah kesiapan masyarakat, baik sebagai produsen maupun konsumen, dengan meningkatkan kesadaran dan pendidikan. Faktor-faktor tersebut harus ditingkatkan bersama-sama.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023