Ketentuan ini berlaku selama izin pengolahan lahan Perhutanan Sosial diberikan kepada masyarakat untuk jangka waktu 35 tahun.
Jakarta (ANTARA) - Program Perhutanan Sosial yang dilaksanakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dinilai efektif dalam menekan budaya ladang berpindah yang dilakukan masyarakat pedesaan di Tanah Air.

Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto di Jakarta, Selasa, mengatakan ladang berpindah adalah sistem pertanian tradisional yang dilakukan masyarakat pedesaan Indonesia dengan cara membuka hutan atau lahan kosong untuk ditanami selama beberapa tahun, kemudian ditinggalkan dan dibiarkan.

"Maka dari itu budaya ladang berpindah dinilai sudah tidak lagi relevan, dan harus dihentikan karena dampaknya dapat merusak ekosistem hutan beserta akibat perambahan dan pembakaran," kata dia.

Bambang menjelaskan bahwa saat ini sudah
tercatat sudah sebanyak 1.232.539 kepala keluarga masyarakat desa dan hukum adat yang mengelola kawasan hutan total seluas 5,6 juta hektare melalui program Perhutanan Sosial.

Baca juga: KLHK: 1,2 juta KK peroleh manfaat Perhutanan Sosial

Baca juga: Perhutanan sosial butuh kolaborasi lintas OPD pacu ekonomi masyarakat


Jutaan kepala keluarga tersebut tergabung ke dalam 10.075 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di bawah pembinaan KLKH.

KLHK mencatat masing-masing KUPS tersebar di Sumatera sebanyak 2.979 unit, Jawa 1.319 unit, Bali dan Nusa Tenggara 994 unit, Kalimantan 1.823 unit, Sulawesi 2.274 unit, Maluku dan Papua 824 unit.

Ia memastikan semua bentuk usaha pemanfaatan kawasan hutan oleh KUPS tersebut sepenuhnya menggunakan pola agroforestry.

Pola agroforestry inilah yang menurutnya merupakan bentuk keefektifan Perhutanan Sosial dalam menekan budaya ladang berpindah.

Bambang yang juga akademisi Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menjelaskan pola agroforestry merupakan kombinasi antara tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian di bawah tegakan wanatani sehingga ekosistem yang ada di kawasan itu tetap lestari.

Dalam pelaksanaannya, pola agroforestry dilakukan di blok pemanfaatan, bukan blok perlindungan hutan. Sehingga hal ini berimplikasi mengurangi kebiasaan masyarakat melakukan ladang berpindah yang merusak ekosistem hutan.

"Ketentuan ini berlaku selama izin pengolahan lahan Perhutanan Sosial diberikan kepada masyarakat untuk jangka waktu 35 tahun," kata dia.

Dia menegaskan pula bahwa bila izin pengelolaan lahan oleh KUPS habis dan terbukti tidak menerapkan pola agroforestry secara layak dan benar dalam usahanya maka izinnya tidak dapat diperpanjang atau bahkan dicabut.

Hal demikian itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.

"Otoritas keamanan KLHK bekerjasama dengan TNI/Polri dan perangkat pemerintah daerah, serta instrumen masyarakat melakukan pengawasan penuh secara berkala untuk memastikan ketentuan ini berjalan dengan baik," kata dia.*

Baca juga: Papua Barat gandeng Unipa susun dokumen pengelolaan hutan sosial

Baca juga: Papua Barat Daya perkuat kapasitas warga kelola perhutanan sosial

Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023