Anak-anak yang tidak memiliki "softskill" memadai biasanya akan hidup dengan berbagai masalah, ...
Bondowoso (ANTARA) - Beberapa orang sering kali kita temukan tidak betah di tempat kerja sehingga dengan mudah pindah-pindah kerja. Alasannya, mereka tidak cocok dengan lingkungan atau rekan sejawatnya.

Patut diduga, orang dengan tipe tersebut tidak memiliki keterampilan kerja nonteknis atau lebih dikenal dengan istilah softskill. Karena itu softskill perlu dipahami dengan baik oleh para orang tua, agar dapat membantu anak-anaknya memiliki keterampilan sosial di dunia kerja, dengan menunjukkan prestasi terbaik serta bekerja dengan nyaman di lingkungan mana pun.

Guru Bimbingan Konseling SMK Negeri 1 Sumberwringin, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Evy Yulistiowati Pramono, saat menjadi pembicara pada pertemuan via Zoom dengan orang tua bertema "Parenting" mengemukakan bahwa pemahaman orang tua mengenai softskill akan sangat membantu anak menghadapi dunia kerja dan sosial secara baik.

Anak-anak yang tidak memiliki softskill memadai biasanya akan hidup dengan berbagai masalah, baik di lingkungan sosial maupun di lingkungan tempat bekerja. Hal-hal yang sejatinya sepele akan menjadi masalah besar bagi orang yang di keluarganya tidak dididik dengan pola asuh yang mendukung keterampilan hidup di masyarakat.

Misalnya, seorang remaja yang tidak memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik akan mengalami masalah yang dianggapnya berat ketika merasa selalu dicueki oleh rekan kerja atau atasannya. Padahal, sumber masalahnya ada pada diri sendiri yang tidak pandai membawa diri atau sulit beradaptasi dengan lingkungan baru.

Evy Yulistiowati, yang juga mantan Ketua Musyawarah Guru Bimbingan Konseling (MGBK) SMK Kabupaten Bondowoso ini,  mengungkapkan beberapa hal yang harus ditanamkan orang tua kepada anaknya agar memiliki softskill memadai untuk bekal menghadapi masa depan, termasuk dunia kerja.

Pertama, menanamkan konsep diri positif kepada anak. Orang tua perlu membantu anak menemukan kelebihan dan kekurangan dirinya sehingga si anak memiliki konsep diri yang positif.

Dengan mengetahui kelebihan diri, maka akan terbantu untuk mengembangkan keterampilan teknis terkait bidang pekerjaan yang sesuai dengan pribadinya, termasuk peran-peran sosial di lingkungan untuk mengekspresikan diri atau memberi makna penting di masyarakat.

Dengan mengetahui kelebihan atau potensi dirinya sejak dini, maka anak menjadi sosok yang enjoy menjalani kehidupan dan maksimal mengembangkan kemampuan di dunia kerja. Pada saat bersamaan, dengan mengetahui kekurangan diri sejak dini, maka kekurangan itu dapat diminimalkan, sehingga tidak menjadi sumber masalah ketika si anak berada di lingkungan kerja atau lingkungan sosial.

Kedua, pengendalian diri. Orang tua dapat melatih anak untuk bisa mengendalikan diri, dengan pola pengasuhan yang ramah pada anak. Pada konteks ini, orang tua harus memberikan contoh terbaik pada anak, misalnya, tidak mudah marah ketika mendapati perilaku anak yang tidak sesuai dengan kemauan orang tua.

Ketiga, keterampilan berkomunikasi. Jenis pekerjaan apa pun menuntut seseorang untuk pandai berkomunikasi, termasuk bagaimana menyampaikan pikiran jika seseorang merasa tidak nyaman dengan sikap rekan sejawat atau pimpinannya. Orang tua perlu melatih anak untuk mampu berkomunikasi yang baik, dengan memberi contoh komunikasi yang baik di keluarga.

Komunikasi yang bisa dicontohkan oleh orang tua kepada anaknya adalah dengan sering menghargai pendapat anak. Orang tua perlu membiasakan diri berdiskusi dengan anak dalam berbagai topik dan masalah.

Dengan terbiasa dihargai saat anak menyampaikan pendapatnya, maka si anak juga akan memiliki keterampilan berkomunikasi dengan orang lain. Di dunia kerja dan sosial, anak akan mampu menempatkan diri dan memiliki kecakapan menyampaikan pendapat terkait persoalan di tempat kerja dan sosial.

Keterampilan komunikasi ini juga menyangkut keterampilan dasar, yakni mendengarkan pendapat orang lain. Anak yang memiliki keterampilan komunikasi tidak akan mudah terjebak dalam suasana penuh emosi saat berhadapan dengan orang lain. Karena itu, orang tua perlu memberi contoh dengan sering mendengarkan dan menghargai secara tulus pendapat anak, sesederhana apapun pendapat itu.

Keempat, keterampilan berpikir kritis. Hidup di era digital seperti saat ini adalah momentum bagi orang tua untuk mengajarkan berpikir kritis kepada anak, misalnya, ketika mendapatkan informasi meragukan dari media sosial, ajak anak untuk mengecek informasi lain sehingga anak tidak mudah terhanyut dalam perilaku reaktif akibat tidak kritis terhadap informasi yang diterimanya.

Kelima, ajak anak menggali ide-ide pengembangan mengenai sesuatu. Prinsip ini bisa diambil dari fenomena yang terjadi di sekitar, misalnya seorang wiraswasta yang selalu menemukan ide baru untuk mengembangkan produk. Fakta itu dijadikan bahan oleh orang tua untuk mengajak anak selalu berpikir mengenai ide-ide pengembangan.

Contoh lain, misalnya, ketika mengerjakan pekerjaan rumah (PR) membutuhkan penggaris, sementara penggaris yang dicari tidak ditemukan, orang tua bisa mengemukakan ide agar anak menggunakan sampul buku yang tebal dan alat bantu lainnya. Intinya, anak perlu dibiasakan untuk berpikir selalu ada jalan keluar dari setiap persoalan yang kita hadapi.

Keenam, mempertimbangkan risiko atas segala keputusan yang dipilih. Untuk mengalami apa risiko yang akan dihadapi dari setiap keputusan, anak perlu mengalami langsung dan bukan sekadar pengetahuan. Misalnya, ketika anak malas untuk mengerjakan tugas sekolah di rumah, sesekali biarkan keputusan itu diambil oleh anak, orang tua cukup mengingatkan bahwa semua itu ada risiko, seperti dimarahi oleh guru. Setelah mengalami risiko itu, orang tua bisa masuk ke dalam pikiran anak dan berdiskusi bahwa tidak mengerjakan tugas sekolah itu membuat anak tidak nyaman.

Untuk menguji apakah anak sudah memahami risiko atas tindakannya, sesekali biarkan anak ketika tidak mau mengerjakan tugas dalam suasana bergurau. Anak yang sudah memahami risiko, pasti tidak akan mau dan lebih memilih mengerjakan tugas.

Terakhir, ajarkan anak untuk bekerja dalam tim. Langkah ini bisa dilakukan orang tua dengan membuat mainan anak, misalnya, dari kardus bekas. Belajar bekerja dalam tim ini juga menjadi kesempatan bagi orang tua untuk dekat dengan anak.

Secara psikologi, semua hal terkait penanaman softskill itu harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga menjadi karakter bagi si anak untuk bekal utama menjalani kehidupan dengan bahagia dan damai.

Pertemuan dengan para orang tua di wilayah Jawa Timur dan Jawa Barat itu difasilitasi oleh lembaga Save the Children Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap perkembangan anak, baik lewat pengasuhan di rumah maupun di sekolah.

Program Manager Skills to Succed Save the Children Indonesia Evie Woro Yulianti mengemukakan bahwa materi tentang softskill ini juga menjadi perhatian sejumlah negara di dunia untuk membantu anak-anak bertumbuh kembang maksimal.

Khusus untuk Indonesia, kata dia, orang tua tidak bisa mengawasi anak selama 24 jam terus menerus dalam era dunia digital, sehingga softskill ini memiliki makna penting bagi orang tua dalam membersamai anak-anaknya.

Diharapkan, dengan kesadaran para orang tua untuk mengantarkan anak-anaknya memiliki keterampilan nonteknis ini, anak-anak bisa bertumbuh mandiri dan mampu mengoptimalkan semua potensinya untuk berprestasi.











 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023