Banda Aceh (ANTARA) - Bandar Susoh menjadi salah satu jejak sejarah rempah di pesisir Barat Selatan Aceh (Barsela) dan keberadaannya sudah dikenal sejak abad ke-17 (1601-1700) itu, menjadi tempat singgah bangsa-bangsa Eropa.

“Negara seperti Arab, India, Eritrea dan bangsa pedagang atau penjajah lainnya, dulu singgah di Bandar Susoh,” kata Ketua Aceh Culture dan Education, Arif Faisal Djamin dalam seminar kebudayaan sejarah jalur rempah Aceh dalam rangkaian Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 di Auditorium Ali Hasymi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Senin.

Arif menjelaskan penyebutan Bandar Susoh dinukilkan dengan beberapa sebutan, seperti Susu atau Susum dalam tulisan Portugis, Soesoe, Soeesoh, Sosoeh dalam tulisan Belanda, dan Soosoo dalam tulisan Inggris.

Baca juga: DGA: Rempah Aceh tercatat dalam peta perdagangan global

Secara garis besar, kata Arif, Barsela memiliki setidaknya lima bandar besar pada masa silam, yaitu Bandar Meulaboh, Bandar Susoh, Bandar Meukek, Bandar Trumon, dan Bandar Singkil.

Di Bandar Susoh, lanjut dia, perdagangan antara kerajaan Susoh dengan bangsa luar sudah terjalin sangat baik, dimana pada tahun 1787, Syahbandar Susoh bernama Leubee Dapa telah mengadakan perjanjian dengan Inggris untuk menyediakan semua rempah jenis lada, lalu berkongsi dagang dengan Inggris.

“Hal ini diantisipasi oleh Inggris, karena Amerika sudah menjajaki pantai barat Aceh. Pada tahun 1803 Bandar Susoh menghasilkan sekitar 5.000 ton lada, dan sebagian besar lada tersebut dikirim ke New England," ujarnya.

Arif menjelaskan setelah perjanjian dengan Inggris dilaksanakan, Leube Dapa yang dibantu oleh Tuanku Raja Udahna Lela (menantu Leube Dapa sekaligus kakak dari ibu Sultan Jauhar Alam Syah) secara diam-diam juga bekerja sama dengan Amerika terkait perdagangan lada, hal ini dilakukan demi meraih keuntungan yang lebih besar.

Perkara ini diketahui oleh Inggris dan dilaporkan kepada Sultan Jauhar Alam Syah. Dalam catatan sejarah, disebutkan Leube Dapa melakukan perdagangan ilegal dengan Amerika dan menggelapkan pendapatan Kesultanan Aceh di Bandar Susoh.

Setelah itu, Inggris memberikan bantuan untuk mengembalikan kerugian yang dialami oleh Kesultanan Aceh, sebagai imbalannya harus diadakan perjanjian perdagangan secara adil dengan kompeni (Inggris).

Di sisi lain, kata Arif, perdagangan Inggris di Susoh juga harus diberikan jaminan, serta mengakhiri perdagangan rahasia Leube Dapa dengan Amerika, dimana Inggris telah tertipu dan mengalami kerugian dalam perdagangan, baik di Eropa maupun di India.

“Lada yang dibeli oleh Amerika di Susoh selama enam tahun itu tidak kurang dari 240.000 dolar AS per tahun. Sehingga, merugikan pendapatan bangsa Inggris,” katanya.

Baca juga: Aceh Besar pamerkan jalur rempah dari hulu ke hilir

Baca juga: Menyusuri jejak rempah Aceh di mata dunia


Ia menambahkan selain pedagang dari bangsa Eropa, sekitar tahun 1778 Bandar Susoh juga disinggahi oleh pedagang dari pesisir Coromandel atau kebanyakan orang Melayu menyebut mereka dengan julukan “Orang Kleng”.

Pedagang Kleng, kata Arif, datang ke Susoh menjual berbagai macam jenis kain, ketika pulang kapal Kleng ini dipenuhi muatan 150 hingga 200 ton lada.

Kapal itu datang setiap tahun dari Porto Novo (Afrika Barat) dan Coringa (India) sekitar bulan Agustus dan berlayar kembali di bulan Februari dan Maret.

“Para pedagang Kleng telah mendapat izin berdagang dari Sultan Aceh, baik itu izin berdagang di pantai barat maupun pantai timur Aceh,” kata Arif.

Pewarta: Rahmat Fajri
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023