Monrovia (ANTARA News) - Liberia mengirim sekitar 50 prajurit ke Mali, Kamis, untuk bergabung dengan pasukan penjaga perdamaian PBB -- pengiriman pertama yang dilakukan negara Afrika Barat itu sejak berakhirnya perang saudara 14 tahun satu dasawarsa lalu.

Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf, pemenang bersama Hadiah Nobel Perdamaian 2011, mendesak pasukan negaranya bertindak profesional dan disiplin selama misi mereka.

"Kalian kebanggaan Liberia," kata Sirleaf kepada pasukan tersebut pada upacara di ibu kota negara itu, Monrovia.

Pengiriman pasukan itu merupakan yang kedua dalam sejarah Liberia setelah mereka mengirim prajurit penjaga perdamaian ke Republik Demokratis Kongo pada 1960-an.

Misi di Mali itu merupakan yang pertama sejak Liberia membangun kembali pasukannya dari awal setelah perang saudara, yang mencakup penggunaan prajurit anak dan pelanggaran hak asasi manusia.

Pasukan penjaga perdamaian blok regional Afrika Barat ECOWAS memainkan peranan penting dalam memulihkan stabilitas Liberia.

"Kami pergi ke Mali untuk membantu teman-teman kami. Mereka membantu kami selama perang kami. Jika kami berada dalam posisi untuk membantu, maka kami akan melakukannya," kata Emmanuel Minarth, seorang perwira dalam pasukan yang diberangkatkan ke Mali itu.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Prancis akan mengurangi pasukannya yang berjumlah 4.500 orang menjadi 1.000, dan resolusi PBB mengizinkan Prancis "menggunakan segala cara yang diperlukan" untuk campur tangan ketika pasukan PBB "berada dalam ancaman serius dan segera".

Pasukan Afrika barat yang sudah berada di Mali akan membentuk kekuatan inti dari Misi Stabilisasi Terpadu Multidimensi PBB, yang dikenal dengan singkatan Prancis MINUSMA. Pasukan PBB yang berkekuatan 12.000 orang itu akan menggantikan pasukan Afrika pimpinan Prancis pada Juli.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013