Jakarta (ANTARA News) - Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunda kunjungan ke Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) pada 17-22 Juli karena meningkatnya ketegangan di kawasan itu, sempat mengundang pro dan kontra. Ada pihak-pihak yang menyayangkan keputusan tersebut karena mengindikasikan adanya tekanan pihak-pihak tertentu agar Indonesia tidak menjalin hubungan dengan Korut, namun ada juga yang mendukung keputusan itu agar Indonesia menunggu hingga situasinya lebih kondusif. Tarik ulur masalah jadi, tidaknya kunjungan Presiden Yudhoyono memang telah merebak beberapa hari terakhir seiring dengan tindakan Korut melakukan uji coba peluru kendalinya yang menimbulkan kecaman dunia. Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia Hariyadi Wirawan menilai penundaan kunjungan itu menunjukkan bahwa Indonesia memang berada di bawah tekanan pihak-pihak tertentu. "Sebenarnya sangat disayangkan ketika rencana kunjungan tersebut tidak jadi karena tidak akan berhasil jika hanya melulu mengecam," katanya. Menurut dia, ada baiknya jika kunjungan tersebut tetap dilakukan agar Indonesia dapat memperlihatkan pada dunia bahwa Indonesia bersikap netral, tidak pro kepada salah satu pihak. "Yang paling baik adalah Indonesia dapat menjembatani karena tidak semua negara bisa masuk ke Korea Utara," katanya. Dia juga menyebutkan bahwa pendekatan yang dilakukan pihak barat untuk menyelesaikan kasus Korut tidak selalu tepat karena setelah sekian lama buktinya Korea Utara sama sekali tidak melunak. "Persoalan ini juga harus diklarifikasi dulu apakah sikap Korea Utara ini merupakan reaksi atau keinginan. Saya kira semua akan menganggap bahwa ini adalah sebagai reaksi atas sikap barat kepada Korea Utara," ujarnya. Tudingan akan kemungkinan adanya intervensi asing terutama Amerika Serikat dalam rencana kunjungan Presiden Yudhoyono serta-merta langsung dimentahkan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda. Ditemui seusai menjamu Menlu Ekuador di Gedung Deplu, Menlu membantah akan intervensi AS atau pun negara mana pun juga atas keputusan itu. "Tidak ada pengaruh AS sama sekali karena ini murni keputusan Indonesia karena konteks kunjungan adalah untuk hubungan bilateral," kata Menlu. "Dasar dari kunjungan ini kan bilateral jadi pertimbangan utamanya untuk menundanya adalah berdasarkan pertimbangan pribadi. Semata-mata karena ketegangan yang terjadi beberapa waktu terakhir dan tidak ada tanda-tanda pembicaraan six party (enam pihak). Jadi kita lihat akan lebih produktif untuk mencari waktu lain ketika situasi telah kondusif," katanya. Indonesia, kata Menlu, telah menyampaikan penundaan tersebut ke Korut dan Korsel melalui perwakilan mereka masing-masing. "Jadi tidak ada negara lain yang dapat memaksa Indonesia untuk berkunjung atau tidak berkunjung ke Korea Utara dan Korea Selatan," katanya. Pada kesempatan sebelumnya, Jepang menyatakan dukungannya pada kunjungan Presiden Yudhoyono ke Korut mengingat saat ini tidak banyak negara yang memiliki akses ke sana. Turut Campur Kesibukan Pemerintah Indonesia mengurusi masalah Semenanjung Korea bisa jadi memancing pertanyaan di benak publik Indonesia mengapa Pemerintah begitu sibuk campur tangan menangani masalah nuklir Korut yang nyata-nyata jauh dari Indonesia. "Ini bukan masalah turut campur, bukan karena Indonesia yang sok menengahi, tetapi karena kita punya kepentingan apalagi tidak banyak negara yang punya akses ke sana," kata Menlu. Menurut Menlu, setiap negara tentu memiliki kepentingan tersendiri dalam setiap tindakannya. "Dengan kedekatan kita, kita upayakan damai, kita punya kepentingan karena dengan ketegangan di Semenanjung Korea maka ada potensi perluasan kepemilikan nuklir yang akan mengganggu kedamaian dan keamanan di kawasan Asia Pasifik," katanya. Terkait dengan kasus Korut menurut Menlu masalah yang lebih besar bukanlah uji coba peluru kendali melainkan kasus pengakuan Korea Utara atas peralihan nuklir untuk tujuan damai menjadi militer. "Perspektif Indonesia, kalau Korea Utara mengembangkan nuklir untuk militer maka yang kita khawatirkan bukan hanya Korea Utara tetapi hal itu bisa memicu keinginan negara lain untuk juga mengembangkan nuklir untuk tujuan militer," katanya. Misalnya, ujar Hassan, Jepang boleh bolak-balik mengatakan sebagai korban nuklir dan tidak akan mengembangkan senjata nuklir tapi dengan alasan national survival maka dapat berkeinginan untuk ke sana, demikian juga negara-negara di lain kawasan. "Kita harapkan itu tidak terjadi jadi kita dorong penyelesaian damai melalui six party," katanya. Walaupun begitu, Menlu mengakui bahwa hasil kunjungan utusan khusus Presiden RI ke Korut Nana Sutresna menunjukkan indikasi bahwa upaya untuk mendorong masalah Korea Utara ke meja perundingan tidak mudah. "Langkah-langkah internasional, tidak ada pilihan. Negara-negara maha kuasa pun susah untuk bertindak," katanya. Upaya Damai Peluncuran peluru kendali yang dilakukan Korut pada awal Juli menuai kecaman dari dunia internasional. Sekalipun menyesalkan sikap Korut, Indonesia tetap menyerukan agar perundingan enam pihak atau six-party talks (Korea Utara, Korea Selatan, Cina, Jepang, Rusia, dan Amerika Serikat) yang macet sejak September 2005 dihidupkan kembali, sebagai upaya untuk mengurangi ketegangan di kawasan dan menyelesaikan masalah nuklir Korut. Indonesia sebagai negara yang selama ini memiliki hubungan dekat dengan Korut, berkepentingan untuk mendorong upaya-upaya menciptakan keamanan di kawasan Asia-Pasifik. "Selama ini kita juga aktif mendorong proses dialog ke arah reunifikasi Korea Utara dan Korea Selatan. Tentu juga kita akan membawakan pesan-pesan dari pihak Korea Selatan, juga bila ada kemungkinan pesan dari Korea Utara kepada Korea Selatan," kata Menlu. Apakah Indonesia mendapat dukungan internasional atau tidak bagi upayanya mendekati Korea Utara, diisyaratkan Hassan bukan sebagai hal yang terlalu penting. Indonesia, katanya, tidak memerlukan dukungan apa-apa karena selama ini masalah yang ada sudah diketahui, yaitu dialog enam-pihak yang buntu maupun dialog rekonsiliasi Utara-Selatan yang tidak terlalu cepat memberikan hasil positif. "Ini atas inisiatif sendiri. Syukur kalau memang ada yang menghargai dan mengharapkan begitu. Korea Selatan, misalnya, sebagai pihak yang paling berkepentingan, baik terhadap dua isu utama tadi: six-party talks dan dialog Utara-Selatan, justru sangat menghargai upaya-upaya kita selama ini," katanya. Sementara itu Kantor Berita Kyodo mengutip satu sumber pemerintah Jepang yang mengatakan, satu rudal ditembakkan Korut sekitar pukul 03.30 waktu setempat (pukul 01.30 WIB) dan yang satu lagi selepas pukul 04.00 (pukul 02.00) pada 5 Juli 2006. Kedua rudal itu mendarat di Laut Jepang sekitar 500 sampai 600 kilometer di lepas pantai barat pulau wilayah utara Jepang Hokkaido, kata sumber pemerintah yang tidak disebutkan namanya itu. Menurut CNN, rudal yang diuji-coba itu lebih kecil daripada rudal Taepodong-2, yang dikhawatirkan Amerika dan negara-negara lain akan diluncurkan untuk pengujian dalam waktu dekat. Jepang sangat peka dengan langkah-langkah yang dilakukan Korea Utara itu, yang pada 1998 menembakkan rudal Taepodong-1 di atas Jepang menuju Lautan Pasifik, membuat Tokyo dan Washington segera meningkatkan kerja sama membangun pertahanan rudal.(*)

Oleh Oleh Gusti Nur Cahya Aryani
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006