Kita juga tidak ingin para capres mengejar pertumbuhan tinggi tapi melupakan kualitas pertumbuhan seperti melebarnya ketimpangan, hingga masih banyaknya jumlah masyarakat rentan. Harus balance antara pertumbuhan dan indikator kesejahteraan yang lebih
Jakarta (ANTARA) - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia membutuhkan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Pemilihan Umum 2024 yang bisa mengatasi masalah ketimpangan hingga kemiskinan.

"Kita juga tidak ingin para capres mengejar pertumbuhan tinggi tapi melupakan kualitas pertumbuhan seperti melebarnya ketimpangan, hingga masih banyaknya jumlah masyarakat rentan. Harus balance antara pertumbuhan dan indikator kesejahteraan yang lebih merata," kata Bhima kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.

Ia menginginkan capres dan cawapres tidak hanya sekadar fokus pada angka pertumbuhan ekonomi tinggi namun juga mengutamakan kualitas pertumbuhan yang menyelesaikan masalah ketimpangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Bhima, perlu ada upaya yang lebih besar dan efektif untuk mengatasi masalah ketimpangan, kemiskinan terutama di daerah luar Jawa sehingga tidak sekadar melalui penyaluran bantuan sosial, tapi juga penguatan perlindungan sosial secara utuh.

Di samping itu, capres dan cawapres juga harus mendorong sumber ekonomi baru yang lebih berkualitas dan memahami konteks ekonomi global tidak inward looking, khususnya dalam kerja sama transisi energi, ekonomi berkelanjutan, pangan hingga transformasi digital.

"Ada pembagian tugas yang jelas antara capres dan cawapres dalam ekonomi, misalnya pembagian antara komunikasi dengan pengusaha atau investor domestik versus asing. Tentunya membutuhkan komunikasi yang handal sehingga tercapai kolaborasi ideal," ujarnya.

Selain itu, capres dan cawapres juga harus mampu merangkul negara kawasan khususnya di tingkat ASEAN dalam pembangunan bersama, sehingga tidak ikut arus kepentingan China versus negara barat.

Ia berharap capres dan cawapres juga mampu memaksimalkan peran anak muda usia produktif untuk masuk ke pasar tenaga kerja yang lebih berkualitas.

Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) melaporkan terdapat 3,3 juta orang masuk dalam kategori miskin ekstrem, dan terkonsentrasi di Indonesia bagian timur.

"Jumlahnya 3,3 juta di seluruh wilayah Indonesia. Tentu kita bisa melihat, persentase angka kemiskinan ekstrem yang tinggi ini di Indonesia bagian timur, sehingga perlu penanganan yang khusus," ujar Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kemenko PMK, Nunung Nuryartono di Jakarta, Rabu (23/8).

Secara tren data, angka kemiskinan ekstrem pada Maret 2022 mencapai 2,04 persen. Kemudian, turun sekitar 0,3 persen ke angka 1,74 pada September 2022.

Pada Maret 2023, turun menjadi 1,12 persen atau berkurang 0,62 persen dari September 2022. Merujuk pada data tersebut, ia optimistis angka kemiskinan akan berada di angka nol persen pada 2024.

Menurut Nunung, ada tiga strategi besar dalam penanggulangan kemiskinan ekstrem, yakni pengurangan beban yang salah satunya dilakukan melalui Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT), peningkatan pendapatan masyarakat serta perbaikan infrastruktur dan sanitasi untuk mengurangi kantung kemiskinan.

Baca juga: Hari Pahlawan, Mensos tegaskan perangi kemiskinan dan kebodohan

Baca juga: Presiden: Canangkan tekad isi kemerdekaan dengan perangi kemiskinan

Baca juga: Pemerintah beri insentif fiskal kemiskinan ekstrem ke 26 pemda

 

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2023