Jakarta (ANTARA) - Kepala BNPT Komjen Pol. Rycko Amelza Dahniel menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme tidak sesuai dan mengancam keutuhan NKRI.

Hal ini disampaikan Rycko saat kegiatan 20 mantan narapidana terorisme (napiter) mencatatkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) pada kegiatan Seminar Nasional dan Pemecahan Rekor MURI “Pencegahan Paham Radikalisasi Bagi Mahasiswa Indonesia Menuju Generasi Emas 2045” di Universitas Semarang (USM), Jawa Tengah, Kamis (9/11).

"Di mana paham radikal terorisme pada awalnya tumbuh dari bibit intoleransi yang merupakan sikap dan pemikiran yang tidak bisa menerima perbedaan," kata Rycko dikutip dari rilis BNPT yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Baca juga: BNPT minta mahasiswa waspadai pendekatan lunak terorisme

Baca juga: BNPT ingatkan urgensi prioritas hadapi "travelling terrorist"


Dia juga menyampaikan bahaya paham radikal terorisme yang dapat merusak lestarinya peradaban umat manusia dan merobek-robek kemanusiaan.

“Paham ini ajarkan kekerasan, menebar kebencian, melakukan kekejian dan kebiadaban kepada manusia tanpa pandang bulu bagi yang tidak mau mengikuti keinginan/ideologi mereka," ujarnya.

Menurut dia, ideologi ini sungguh meninggalkan realitas kehidupan umat manusia yang penuh dengan kasih sayang.

Rycko memberikan penghargaan dan apresiasi yang tinggi kepada Universitas Semarang (USM) sebagai universitas yang pertama kali mampu membangun infrastruktur dan mendeklarasikan diri sebagai kampus kebangsaan.

"Kampus USM menjadi pelopor kampus yang menjaga keindonesiaan," tambah dia.

Sementara itu, mantan napiter yang juga Ketua Yayasan Persadani Sri Pujimulyo Siswanto menceritakan latar belakang terpapar terorisme karena lemahnya pendidikan agama dalam keluarga. Ia kemudian tertarik untuk mengikuti kegiatan di masjid sekitar rumahnya untuk mendalami agama.

“Namun justru dari situlah saya mulai mengikuti pengajian yang mengajarkan pola pengajaran dan pembinaan keagamaan yang berbeda. Seiring berjalannya waktu muncullah sikap merasa benar sendiri, membatasi pergaulan dengan orang yang tidak sekomunitas dan mulai membenci pemerintah,” ungkap Sri Puji.

Setelah sekian lama mengikuti pengajian itu, Sri Puji pun bergabung dengan jaringan Noordin M. Top dan Dr. Azahari. Ia mengaku dua kali tersangkut pidana terorisme, yakni akhir tahun 2005 dan pertengahan 2010.

Pada kasus pertama, Puji terlibat terorisme karena menyembunyikan teroris Noordin M Top dan Dr Azahari. Kemudian kasus kedua, dia menyembunyikan Abu Tholut.

Puji pernah ditahan di Nusakambangan, Mako Brimob, dan Lapas Kedungpane. Ia mulai sadar saat dipenjara pada kasus kedua.

Saat itu dia ikut program deradikalisasi dari pemerintah dan BNPT, ada diskusi, dialog dari berbagai kalangan. Setelah bebas dari penjara untuk kedua kalinya dan telah mengikuti deradikalisasi, Puji ingin kembali ke masyarakat.

Namun, ternyata hal itu tidak semudah yang dibayangkan karena rekam jejaknya sebagai napi terorisme. Sempat mendapat stigma negatif sebagai mantan napiter, Sri Puji akhirnya bisa meyakinkan tetangganya kalau sudah tidak seperti dulu.

Ia akhirnya diberi kepercayaan Ketua RT tempat tinggalnya untuk menjadi ketua takmir masjid.

"Dengan Pak RT yang punya pola pendekatan merangkul saya, memberi kepercayaan kepada saya. Ini tidak mudah, jadi saya mencoba hal terbaik," ujarnya.

Mantan napiter lainnya, Joko Priyono menceritakan awal mula ia terpapar dan bergabung dengan jaringan radikal terorisme. Itu berawal saat mulai aktif sebagai aktivis masjid di kampus tempatnya dulu dan menjadi Rohis Fakultas pada 1993.

Kala itu ia mempelajari agama Islam secara utuh. Joko kemudian mulai aktif di kajian–kajian kelompok radikal dan terlibat dalam kasus penangkapan teroris di Caruban, Madiun pada 15 Mei 2019.

“Karena itu saya ingatkan, adik-adik mahasiswa agar dapat mempelajari agama dengan guru yang jelas dan benar,” ungkap Joko.

Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2023