Ini masalah kemanusiaan karena di sana (Papua Nugini) akses kesehatan jauh, jadi mereka berobat di sini (Sota), gratis.
Merauke (ANTARA) - Pos Lintas Batas Negara atau PLBN Sota, Merauke, Papua Selatan, membatasi negara Republik Indonesia dengan Papua Nugini (PNG).

Sejak diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada Oktober 2021, PLBN Sota menjadi salah satu beranda depan wilayah Indonesia yang mewakili wajah bangsa. Keberadaannya juga menjadi etalase Indonesia.

Kawasan perbatasan merupakan beranda depan Indonesia yang mewakili wajah bangsa sehingga harus dibangun agar bisa menjadi representasi kemajuan bangsa dan negara, yang membanggakan seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, Pemerintah minta jajaran terkait untuk membangun kembali pos lintas batas di berbagai perbatasan negara di seluruh Tanah Air.

Kehadiran PLBN yang terletak di ujung timur Indonesia ini diyakini memberikan berbagai manfaat bagi masyarakat, baik dari sisi keamanan, perekonomian, maupun dalam meningkatkan nasionalisme bangsa.

PLBN Sota di Merauke ini dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pembangunan PLBN tidak hanya bertujuan untuk pos lintas batas negara, lebih dari itu juga akan didorong menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru, salah satunya dengan dibangunnya pasar.

Dengan demikian kehadiran PLBN bakal  meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan.

PLBN dikelola oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan atau BNPP. Pembentukan badan ini adalah amanat dari Undang-Undang (UU) Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.

Kemudian, pada 2021 terbit Peraturan BNPP Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tipologi PLBN. Peraturan ini ditandatangani Kepala BNPP Tito Karnavian pada 4 Januari 2021 dan berlaku sejak tanggal yang sama.

PLBN terbagi atas darat dan laut. Pengawasan dan pelayanan lintas batas negara adalah pelaksanaan pengawasan dan pelayanan kepabeanan, keimigrasian, dan kekarantinaan.

PLBN Sota berdiri di atas lahan seluas 5,6 hektare. Desainnya mengadopsi ornamen dan kearifan lokal mulai dari bentuk, warna tifa, hingga motif dari suku lokal.

PLBN Sota masuk dalam kategori C, yang artinya jumlah pelintas di pos ini masih berada di bawah 5.000 pelintas di setiap bulan. Untuk PLBN Sota, setiap hari ada 20-30 pelintas batas yang melewati pos ini.

"Kalau yang di bawah itu tipe C seperti Sota dan Yetetkun karena pelintasnya masih di bawah 5.000. Itulah tipologi PLBN yang ada di Indonesia ini," kata kepala PLBN Sota Ni Luh Puspa Jayaningsih saat diwawancara media di lokasi pada Senin.

Pelintas tradisional lebih banyak dilayani PLBN di tipe C karena memeriksa barang yang mereka bawa untuk konsumsi sehari-hari, misalnya, kebutuhan pokok.

"Kalau di tipe A, kelasnya sudah impor dan ekspor. Kalau tipe C rata-rata untuk konsumsi sehari-hari, kebutuhan pokok. Namun tidak menutup kemungkinan, ke depannya bisa menjadi sama, tipe A," lanjutnya.

Untuk tipe A memiliki lahan minimal 10 hektare (ha) dan luas bangunan untuk zona inti setidaknya 9.000 m2 dan bangunan zona penunjang 5.000 m2. Jumlah orang yang melintas 7.500 per bulan dan 100 kendaraan dengan bobot maksimal 40 ton.

Kemudian tipe B, berkantor di lahan minimal 10 ha. Lalu, luas bangunan zona inti 7.000 m2 dan 4.000 m2 zona penunjang. Lalu, jumlah orang yang melintas antara 1.000-7.500 tiap bulan. Kemudian, 30-100 kendaraan dengan bobot maksimal 20 ton tiap kendaraan.


Bergantung pada PLBN Sota

Dua tahun sejak diresmikan oleh Presiden Jokowi, PLBN Sota tidak hanya menjadi perbatasan bagi warga Indonesia dan warga PNG yang ingin melintas, tetapi juga untuk warga PNG yang masuk wilayah RI guna mendapat akses pendidikan, kesehatan, dan peribadatan.

Ketua Adat Kanum Papua Nugini, Silasianay (61), menyebut warga perbatasan Papua Nugini cukup tergantung dengan keberadaan PLBN Sota.

"Biasanya pintunya buka dari Senin sampai Jumat sampai sore, kita biasa jualan ke dalam untuk jadikan uang, jualan itu macam daging rusa, ikan, dan lain-lain," ujarnya dengan bahasa Indonesia yang fasih.

Warga PNG yang menjual barang di Pasar Sota lalu menerima mata uang rupiah yang kemudian dipakai untuk membeli berbagai kebutuhan lain sebelum kembali ke negaranya.

"Hasil kita jualan ke Pasar Sota sesudah jadi uang rupiah,  kebanyakan untuk belanja lagi di dalam, seperti garam, gula, baru kembali lagi. Karena, beli beras di Papua Nugini jauh, jadi lebih dekat ke Sota," ujar kakek yang mengaku fasih tujuh bahasa itu.

Kepala PLBN Sota Ni Luh Puspa Jayaningsih mengatakan hari pasar di perbatasan Sota buka dari Senin-Jumat, rata-rata orang yang masuk 15-25 orang per hari, tetapi bila memasuki hari raya keagamaan, jumlahnya bisa lebih.

Menurut wanita berdarah Bali itu, sejak diresmikan, semua proses penukaran tidak mengalami kendala, semuanya berjalan lancar, baik para pedagang maupun warga dari PNG.

Tidak hanya urusan mendapatkan bahan pokok, banyak anak perbatasan dari Desa Wariaber bersekolah di Distrik Sota karena jaraknya lebih dekat.

Di Sota ada sekolah dari jenjang SD hingga SMA. Kegiatan beribadah, upaya mendapatkan air bersih, juga akses kesehatan, juga bukan hal yang tidak lazim dilakukan warga Suku Kanum atau Desa Wariaber di Sota.

"Anak-anak kecil yang tadi itu sekolahnya di sini, rumah sakit di sini, ibadahnya hari Minggu pun di sini," ujar Puspa.

Adapun untuk akses kesehatan, warga perbatasan Papua Nugini sudah biasa mendapatkan pelayanan di Puskesmas Sota secara gratis.

Seorang petugas imunisasi Puskesmas Sota, Helena Ohoiwirin, mengatakan bahwa warga perbatasan Papua Nugini sudah biasa mendapatkan akses kesehatan di Puskesmas Sota.

"Ini masalah kemanusiaan karena di sana (Papua Nugini) akses kesehatan jauh, jadi mereka berobat di sini (Sota), gratis," ucap Helena.

PLBN Sota tidak hanya menjadi pos perbatasan. Kehadirannya selain memberi manfaat bagi rakyat Indonesia, juga terasakan bagi warga Papua Nugini yang tinggal di dekat perbatasan.

















 
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023