Yerusalem (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry pada Kamis bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam upaya terbarunya untuk membangkitkan kembali perundingan perdamaian Timur Tengah.

Upaya itu dijalankan di tengah pernyataan Netanyahu bahwa ia akan menekankan masalah keamanan dalam setiap kesepakatan damai.

Dalam lawatan kelimanya dalam beberapa bulan ini, Kerry bertemu Netanyahu pada acara makan malam dan kemudian berangkat ke Amman untuk melakukan pertemuan dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas.

Ketika memulai pertemuan mereka, Kerry dan Netanyahu berjabat tangan di depan kamera namun keduanya tidak memberikan pernyataan kepada para wartawan.

Kerry, yang sebelumnya telah bertemu dengan Raja Yordania Abdullah II di Amman sebelum melakukan kunjungan singkat ke Yerusalem, sedang berupaya untuk memecah kebuntuan dan memulai kembali perundingan langsung yang akan mengarah pada berdirinya negara independen Palestina.

Netanyahu sebelumnya menyatakan bahwa masalah keamanan merupakan "syarat dasar" bagi perdamaian.

"Perdamaian terletak pada keamanan. Hal itu tidak didasarkan pada niat baik atau legitimasi seperti yang dianggap beberapa pihak. Perdamaian didasarkan pada, pertama dan terutama, pada kemampuan kita untuk membela diri kita sendiri," katanya ketika menyampaikan pernyataan dalam sebuah upacara untuk menandai tahun meninggalnya Theodor Herzl, pendiri Zionisme.

Pernyataan itu muncul setelah surat kabar Haaretz mengutip seorang "anggota kabinet senior" partai Netanyahu, Likud, yang mengatakan bahwa PM Netanyahu akan siap menyerahkan hampir semua wilayah Tepi Barat jika kebutuhan Israel soal keamanan dipenuhi.

Netanyahu memiliki hubungan yang tegang dengan Presiden Barack Obama soal proses perdamaian selama periode pertama kepemimpinan Obama.

Namun seorang menteri Israel mengatakan bahwa Netanyahu semakin melihat adanya kepentingan strategis untuk memulai kembali perundingan damai.

"Netanyahu tahu akan ada evakuasi yang menyakitkan terhadap sejumlah permukiman yang bukan di blok-blok permukiman, dan bahwa akan ada pertukaran lahan," kata Menteri Ilmu dan Teknologi Israel, Yaakov Peri, kepada radio angkatan darat.

"Netanyahu sudah lebih siap dibandingkan sebelumnya, apakah itu untuk alasan ideologis ataupun praktis, untuk segera kembali ke meja perundingan," ujar Peri.

Namun, Netanyahu muncul dari pemilihan Januari lalu dengan kabinet yang lebih condong ke kanan.

Hari sebelum kedatangan Kerry, sebuah komite perencanaan Israel memberikan persetujuan final bagi pembangunan 29 rumah permukiman di wilayah Yerusalem Timur yang dicaplok Israel.

Pada Kamis, Inggris dan Prancis mengeluarkan pernyataan yang mengecam persetujuan itu dengan menyebutnya sebagai langkah ilegal menurut hukum internasional dan cenderung mengacaukan upaya-upaya perdamaian.

Palestina bersikeras bahwa mereka hanya dapat kembali ke meja perundingan jika Israel membekukan permukiman dan menyepakati perundingan yang didasarkan pada prinsip-prinsip penarikan dari wilayah-wilayah yang didudukinya sejak Perang Enam Hari pada 1967.

"Israel terus mengirimkan pesan demi pesan kepada Kerry bahwa permukiman merupakan tanggapan terhadap prakarsa (perdamaian)," kata juru runding senior Palestina, Hanan Ashrawi, kepada AFP.

"Dan mereka menyalahkan Palestina karena tidak maju ke meja perundingan," ujarnya.

Ashrawi juga menyalahkan Amerika Serikat, dengan mengatakan bahwa sekutu internasional utama Israel itu "berpura-pura buta dan tuli tentang aksi-aksi dan pernyataan-pernyataan Israel".

Amerika Serikat memberikan reaksi kecil terhadap pembangunan permukiman terbaru menjelang lawatan Kerry, tanpa memberikan penolakan terhadap langkah tersebut.

"Jelas sekali bahwa langkah-langkah seperti itu tidak membantu, namun kami tetap berharap bahwa kedua belah pihak akan mengakui kesempatan dan perlunya kembali ke meja perundingan," kata seorang pejabat senior yang melakukan kunjungan bersama Kerry --dan tidak mau disebutkan identitasnya.

Kerry telah menjanjikan akan memperlihatkan kesabaran dalam menyelesaikan salah satu masalah paling rumit di dunia itu.

Ia menyuarakan harapan bagi adanya kemajuan sebelum berlangsungnya sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada September mendatang, demikian AFP.

(T008/M014)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013