Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan keputusan impor beras sebaiknya diputuskan pada Agustus 2024 karena prognosis data produksi Badan Pusat Statistik (BPS) sudah relatif akurat, serta surplus atau defisit stok juga sudah diketahui.

"Sehingga kalau pada saat itu produksi tidak mencukupi, sedulur tani tidak ada masalah impor dilakukan oleh pemerintah kalau itu betul-betul karena produksinya tidak mencukupi konsumsi," kata Dwi dalam paparan media di kantor Ombudsman RI, Jakarta, Jumat.

Dwi berharap pemerintah mempertimbangkan kembali mengenai keputusan impor beras untuk mencegah kerugian pada petani karena stok beras diperkirakan akan berlebih.

"Yang tahun kemarin mengapa kita bermasalah, karena stock to use ratio (Rasio stok yang digunakan) hanya 13 persen. Bahaya memang stock to use ratio 13 persen. Karena apa? Cadangan stok awal 2023 hanya 4 juta ton. Tapi stok 2024 itu sudah melebihi 20 persen. Tidak ada masalah sama sekali. Aman dengan posisi saat ini," kata dia.

Dwi, yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), memperkirakan produksi beras pada 2024 naik sekitar 3 hingga 5 persen atau naik rata-rata 2 juta ton.

Apabila pemerintah mengimpor beras sebanyak 2 juta ton pada 2024, kata Dwi, maka harga beras dipastikan akan turun di tingkat konsumen. Namun di sisi lain, Dwi mengatakan bahwa petani akan mengalami kerugian.

"Kebijakan impor di Agustus 2024 akan memenuhi rasa keadilan untuk petani karena tepat waktu dan tepat jumlah," ujar dia.

Sementara itu, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyarankan agar pemerintah, terutama pemerintahan di periode selanjutnya, dapat menerapkan perencanaan jangka panjang dalam kebijakan impor beras. 

Selain itu, kata Yeka, tata kelola impor beras juga harus lebih transparan.

 

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Indra Arief Pribadi
Copyright © ANTARA 2023