Pontianak (ANTARA) - Deputi Bidang Koordinasi Politik Luar Negeri Kemenkopolhukam Rina P. Soemarno mengatakan bahwa Kalimantan Barat sudah memasuki tahap darurat tindak pidana perdagangan orang (TPPO), khususnya sektor judi 'online', 'online scam', dan upaya pelindungan WNI di luar negeri.

“TPPO Kalbar sudah masuk dalam tahap darurat sehingga diperlukan arahan dan keputusan dari pemimpin tertinggi RI, yaitu Presiden, di Kalbar korban TPPO berjumlah 70 orang berdasarkan sampel. Kalbar menjadi daerah penyumbang korban TPPO 'online scam' terbesar ketiga setelah Sumatera Utara dan Sulawesi Utara,” ujarnya saat Rapat Koordinasi dan Diskusi Publik Pencegahan TPPO di Pontianak, Senin.

Ia menyebutkan kasus 'online scam' terus meningkat pesat berdasarkan data hingga akhir Oktober 2023 tercatat 3.347 kasus. Kemudian 4 November 2023 sudah tercatat penindakan terhadap 935 kasus, termasuk di antaranya terdapat 1.049 tersangka dan 2.797 korban yang mendapatkan langkah penindakan.

“TPPO pada umumnya banyak dari kalangan yang berpendidikan tinggi dan universitas. Mereka juga berasal dari perkotaan dan paham teknologi informasi, mereka dipekerjakan secara paksa di tempat-tempat di Asia Tenggara untuk melakukan kegiatan tidak benar bahkan menipu warga negaranya sendiri,” tutur Rina.

Baca juga: Polisi dan Satgas Pamtas cegah perdagangan orang di daerah perbatasan
Baca juga: Komnas HAM RI rekomendasikan rencana pencegahan TPPO untuk Kalbar


Ia menjelaskan pada tanggal 30 Mei 2023 dalam Rapat Kabinet Presiden RI memerintahkan dilakukan gerak cepat untuk mengatasi TPPO dengan penindakan hukum yang jelas terhadap pelaku TPPO, perlu dilakukan proses, dan restrukturisasi dari petugas TPPO.

“Kami mengidentifikasi permasalahan bahwa kasus TPPO mayoritas akibat dari penempatan pekerja migran Indonesia nonprosedural,” ucapnya.

Ia mengatakan perlunya tindakan hukum untuk menjerat pelaku TPPO karena berkaitan erat dengan tindak pidana lain, termasuk tindak pidana korupsi, gratifikasi, suap, dan pencucian uang sehingga perlu upaya pencegahan yang besar dan berkelanjutan termasuk edukasi serta kesadaran diri.

“Isu ini tidak mudah untuk diberantas karena banyak korban yang merasa tidak menjadi korban, adanya korban yang menikmati sebagai korban, korban malu mengaku sebagai korban, masyarakat terutama pemuda karena kekuatan medsos mereka tidak mau percaya mengenai cerita korban, mereka lebih percaya dengan situs medsos hal seperti ini sulit bagi kami untuk memberantas TPPO,” tuturnya.

Ia mengatakan sekarang sudah mengenal fenomena yang lebih baru lagi penjualan organ tubuh seperti ginjal, begitu banyak laporan dari Kementerian Luar Negeri, perwakilan Indonesia di luar negeri, dan dari medsos langsung ke Kemenkopolhukam.

“Hal ini mengharuskan kami melakukan rapat koordinasi bahkan langsung dipimpin Kemenkopolhukam sendiri untuk membahas dan mengkaji berbagai permasalahan yang terkait dengan TPPO ,” ucap Rina

Pewarta: Dedi
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2023