Jakarta (ANTARA) - Lembaga Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) menyelenggarakan dengar keterangan umum (DKU) korban dan ahli yang berfokus pada 12 kasus guna menuntaskan dan membebaskan Indonesia dari tindakan penyiksaan.

“Setiap manusia berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia,” kata Anggota Komnas Perempuan Rainy Hutabarat dalam acara pembukaan DKU di Jakarta, Senin.

KuPP yang terdiri atas enam lembaga independen, yakni Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman RI (ORI), dan Komnas Disabilitas (KND), kata dia, berkomitmen untuk terus berupaya menghentikan tindakan penyiksaan.

Ia mengatakan DKU salah satu metode inkuiri nasional yang digunakan KuPP sebagai upaya sistematis, transparan dan berskala nasional untuk menggali, memetakan, dan mendalami kasus-kasus penyiksaan, perlakuan tak manusiawi, pelanggaran HAM lainnya yang berhubungan dengan gender, anak, disabilitas dan identitas lainnya, yang dilakukan  aktor-aktor negara secara langsung maupun tak langsung.

Baca juga: Tim KuPP dengar keterangan 8 kasus penyiksaan di Indonesia Tengah

Dalam DKU yang berlangsung 20-24 November 2023, KuPP berupaya mengumpulkan bukti-bukti dari masyarakat dan komunitas, dengan melibatkan para saksi atau pemberi keterangan dan ahli untuk menemukan pola sistemik tindak penyiksaan dan pelanggaran HAM.

“Informasi dan pengetahuan dari para pihak terkait dan ahli difokuskan pada pendalaman untuk menemukan pola sistematis, bentuk-bentuk dan para aktor pelanggaran larangan penyiksaan dan perlakuan tak manusiawi baik di tempat-tempat tahanan dan serupa tahanan, ruang privat maupun ruang publik,” ucapnya.

Pemilihan 12 kasus dalam DKU, kata dia, berdasarkan pada analisa dan telaah KuPP yang bertolak dari kasus-kasus yang diperdengarkan dalam DKU sebelumnya di wilayah barat, timur, dan tengah serta kasus-kasus yang diajukan mitra-mitra yang dipandang perlu mendapat perhatian lebih lanjut oleh negara dalam empat konteks berbeda.

Konteks pertama, kasus-kasus yang terjadi dalam proses penyelidikan, penangkapan, dan penyidikan di kepolisian, termasuk dalam pelanggaran HAM berat masa lalu. Kedua, konteks situasi di rutan, lapas, rudenim atau instalasi tahanan militer.

Ketiga, konteks serupa tahanan baik yang dikelola secara langsung maupun tidak langsung atau dalam tradisi praktik-praktik pemerintah dan instansi, seperti pengawasan berbahaya, merendahkan martabat yang seharusnya dicegah.

“Masih ada tindakan pemasungan, pelukaan, dan pemotongan genitalia perempuan,” ucapnya.

Keempat, konteks lain untuk mengeksplorasi berbagai perbuatan penyiksaan, seperti praktik hukuman badan, konflik sumber daya alam, intoleransi pada kelompok minoritas, serta keadilan yang tertunda terhadap kasus-kasus kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.

Baca juga: KuPP apresiasi keterbukaan berbagai instansi cegah penyiksaan
Baca juga: KuPP desak pemerintah ratifikasi peraturan pencegahan penyiksaan
Baca juga: KuPP dan Kemenkes komitmen hapus praktik pemasungan di Indonesia


Pewarta: Cahya Sari
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2023