Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melakukan penelitian lebih mendalam terkait dengan penyebab minim laporan kasus penyiksaan.

“Kami menemukan terdapat empat faktor yang memengaruhi minimnya pelaporan itu," ucap Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution di Jakarta, Senin.

Dia menyebut faktor pertama adanya masalah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tidak mengenal istilah penyiksaan, akan tetapi yang ada hanya terkait dengan kekerasan.

“Mekanisme penyelesaian oleh aparat penegak hukum itu dengan mekanisme kekerasan, padahal dua hal ini substansinya berbeda,” ujarnya.

Penyiksaan, kata dia, kekerasan dilakukan aparat penegak hukum atau aparat negara untuk menggali informasi atau pengakuan dari seseorang, sedangkan kekerasan tindakan penganiayaan yang umum terlihat.

Ia mencontohkan tindakan kekerasan terjadi pada tukang ojek yang saling memukul, sedangkan penyiksaan dicontohkan terhadap seorang mahasiswa yang unjuk rasa kemudian ditangkap dan ketika di kantor aparat kakinya diinjak, disulut dengan sebatang rokok, atau disiram dengan air keras, bahkan sengaja disetrum agar mengakui suatu perbuatan.

Baca juga: Pansel serahkan 21 nama calon anggota LPSK ke Presiden

Faktor kedua, kata dia, adanya masalah di aparat penegak hukum yang masih menggunakan paradigma lama dalam menangani tindakan kejahatan.

“Penegak hukum ini keliru melihat terdakwa atau orang yang diduga melakukan kejahatan, jadi masih ada menganggap penanganan menggunakan kekerasan itu wajar karena yang ditangani adalah para pelaku kejahatan,” ucapnya.

Ia menyebut faktor ketiga berupa rasa putus asa masyarakat yang menganggap bahwa upaya melapor sebagai tindakan percuma mengingat banyak persoalan berujung penyelesaian secara internal. “Yang keempat ini adalah masih adanya politik impunitas pada kasus yang melibatkan aktor negara pada pelanggaran HAM berat seperti terorisme dan korupsi misalnya, itu tidak diadili,” kata Nasution.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebut 7.777 permohonan perlindungan pada 2022 di antaranya 21 kasus terkait dengan penyiksaan yang terdiri atas 17 dewasa dan empat anak.

“Ini artinya bahwa tidak semua korban penyiksaan berani bersuara dan melapor, ini seperti fenomena gunung es,” kata dia.

Ia mengemukakan pengaduan 21 perlindungan terkait dengan kasus penyiksaan tersebut bukan angka sebenarnya, melainkan masih banyak masyarakat yang menjadi korban tindakan tersebut akan tetapi enggan melapor.

Baca juga: LPSK beri perlindungan kepada eks CEO Miss Universe Indonesia
Baca juga: LPSK harap pendekatan persuasif dan humanis tangani kasus Rempang
Baca juga: Polisi: Status JC Danu dalam kasus Subang sedang diuji LPSK


Pewarta: Cahya Sari
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2023