Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah perlu melakukan restrukturisasi perijinan di bidang investasi, karena biaya investasi di sektor industri sepatu di Indonesia paling mahal dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. "Birokrasi perijinan seyogyanya perlu disederhanakan, karena setiap perijinan ada konsekuensi biaya," kata Ketua Umum Assosiasi Persepatuan Indonesia (Apresindo), Eddy Widjanarko, kepada pers di Jakarta, Kamis. Biaya perijinan investasi di bidang sepatu mencapai Rp50 juta per meter, sedang di Malaysia hanya sekitar Rp18 juta, Singapura Rp11 juta, China dan Vietnam sekitar Rp25 juta. Rendahnya biaya di negara tetangga itu karena ada pelayanan satu atap, katanya, dalam jumpa pers menjelang pameran Indo Leather & Foodwear 2006. "Indonesia tidak akan dapat menarik investor asing di sektor apapun jika biaya investasi relatif mahal," kata Eddy yang didampingi Sekertaris Jenderal Assosiasi Perkulitan, Agit Punto Yuwono. Eddy merici biaya yang harus dikeluarkan perusahaan seperti: rekomendasi Bupati sekitar Rp22 juta. Biaya itu untuk rapat, ijin lokasi, site plan oleh 4 pejabat, entertain petugas survey. Untuk pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan/IMB Retribusi IMB dan SIUP dan TDP lebih dari Rp30 juta. Dikatakannya ada investor di bidang industri sepatu yang akan membuka usahanya di Surabaya. Untuk ketemu dengan Bupati setempat dan pejabat Pemda-nya, perusahaan harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp10 juta. Biaya tersebut akan terus bertambah tergantung waktu yang diinginkan (cepat atau lambat) dan jumlah "meja" yang harus ditemui, katanya, seraya menambahkan, bukankah kalau pemerintah menyederhanakan perijinan itu justru akan membantu pemerintah dalam menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan daerah atau ekspornya. Menurut Eddy, meskipun tingkat persaingan penjualan sepatu di pasar internasional kian ketat, kinerja ekspor alas kaki Indonesia relatif stabil, bahkan terus tumbuh dari tahun- ketahun. "Pertumbuhan rata-rata mencapai 12 persen per tahun," katanya. Data terakhir menyebutkan, ekspor alas kaki Indonesia pada tahun 2005 naik sekitar 15,38 persen menjadi 1,5 miliar dolar AS dari 1,3 miliar dolar tahun 2004. Untuk tahun 2006 ditargetkan hanya naik 10 persen menjadi 1,7 miliar dolar AS. Data tersebut, kata Eddy, menunjukkan produk alas kaki Indonesia mash mempunyai harapan cerah dipasar eksor karena itu pemerintah diminta ikut menyederhanakan proses perijinannya. Sambut kebijakan UE Pada kesempatan itu, Eddy juga menyambut baik adanya kebijakan Uni Eropa yang menyoroti bea masuk impor produk kulit atau alas kaki (upper leather) dari China dan Vietnam . Dua negara itu saat ini sedang dicurigai adanya dumping Bea Masuk dari Komisi Perdagangan UE. Bea masuk dumping itu, katanya sangat merugikan Indonesia karena sepatu Indonesia tidak dapat bersaing bebas karena ada disparitas biaya sekitar 15 persen. Oleh karena itu sikap Apresindo bersama Departemen Perdagangan pergi ke UE untuk membahas masalah itu. "Sikap UE tersebut kita dukung, sebaliknya jika China dan Vietnam tidak melakukan dumping bea masuk harus dapat membutikan tuduhan itu," katanya. Menjawab pertanyaan, ia mengatakan, peluang pasar alas kaki Indonesia ke UE masih cukup terbuka, karena jumlah penduduknya mencapai 450 juta jiwa dari 25 negara anggota. Selain itu Indonesia juga akan diberi fasiltas keringanan bea masuk melalui skema GSP/sistem pereferensi umum. Dengan adanya faslitas itu diperkirakan ekspor alas kaki Indonesia ke UE akan dapat merebut pangsa pasarnya sampai 25 persen sehingga Indonesia akan dapat tambahan devisa 600 juta dolar AS tahun 2006 dengan asumsi harga sepatu mencapai 12 dolar AS per pasang. Sekjen Assosiasi Perkulitan Indonesia, Agit Punto Yuwono menambahkan, untuk perkulitan praktis tidak ada masalah, utamanya di bidang pembiayaan. Hampir semua industri perkulitan dibiaya oleh perusahaan sendiri, oleh karena itu pihaknya tidak perlu adanya fasilitas kredit, katanya. Menyangkut proses perijinan, dia mengatakan, tidak mengalami kesulitan, artinya biaya yang dikeluarkan dinilai masih wajar, kata Sigit, tanpa merinci jumlah yang harus dikeluarkan anggotanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006