Kalau terlepas dengan cara dibakar, dibuka, dan dikeringkan itu bakal mempengaruhi banyak hal. Mereka harus ingat dengan komitmen NDC Indonesia
Jakarta (ANTARA) - Organisasi non-pemerintah Pantau Gambut berpesan kepada calon pemimpin terpilih presiden dan wakil presiden untuk melindungi dan memulihkan kondisi lahan gambut di Indonesia.

Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas saat ditemui di Jakarta, Selasa, mengatakan ekosistem gambut punya peran yang sangat besar dalam menyimpan karbon.
 
"Kalau terlepas dengan cara dibakar, dibuka, dan dikeringkan itu bakal mempengaruhi banyak hal. Mereka harus ingat dengan komitmen NDC Indonesia, apa yang mau kita upayakan sampai tahun 2030," kata Iola.

Baca juga: Menteri Siti apresiasi pengendalian kebakaran gambut di Jambi
 
"Salah satu upayanya adalah melindungi gambut yang masih tersisa. Kemudian, memulihkan kembali ekosistem gambut yang sudah rusak dengan memperbaiki mekanisme sistem penegakan hukum, permasalahan sertifikasi yang sudah tidak relevan lagi itu juga harus ada intervensi dari mereka yang terpilih nanti," imbuhnya.
 
Pantau Gambut memandang kebanyakan visi dan misi yang dipaparkan oleh calon presiden dan wakil presiden masih seputar energi. Sementara, topik lahan gambut seolah terpinggirkan dari pembicara politik dalam pemilihan umum 2024.
 
Berdasarkan dokumen updated Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 43,20 persen bersyarat (dengan dukungan internasional) pada tahun 2030.
 
Rincian target updated NDC secara nasional tersebut adalah menurunkan emisi sektor kehutanan sebanyak 17,4 persen, sektor energi sebesar 12,5 persen, sektor limbah 1,4 persen, sektor pertanian 0,3 persen, dan sektor industri sebanyak 0,2 persen.
 
Iola mengatakan sekarang yang menjadi anak emas adalah energi. Padahal, target penurunan emisi sektor energi berada di bawah sektor pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (FOLU).

Baca juga: Hingga 2024, BRGM targetkan restorasi 1,4 juta hektare gambut
 
Hal itu muncul dalam banyak kebijakan, misalnya taksonomi hijau. Sejauh ini lembaga keuangan besar, seperti BNI, BRI, Mandiri, termasuk BCA paling banyak justru membiayai sektor-sektor yang berhubungan dengan FOLU dari mulai bentuk kredit hingga investasi.
 
Dalam berbagai rancangan kebijakan justru yang detail dibahas adalah energi, bukan sektor kehutanan dan lahan.
 
"Siapapun nanti presiden terpilih coba (dengarkan) suara teman-teman di sini bagaimana kondisi lahan gambut dan apa dampaknya, bagaimana kondisi masyarakat sekitar yang sudah sekian lama berkonflik dengan perusahaan," pesan Iola.
 
Pada 2015, Bank Dunia menghitung jumlah kerugian yang dialami oleh Indonesia akibat kebakaran hutan dan lahan gambut seluas 2,61 juta hektare adalah senilai Rp220 triliun.
 
Kemudian, Indonesia kembali mengalami kerugian sebesar Rp72 triliun akibat peristiwa kebakaran hutan dan lahan gambut seluas 1,64 juta hektare pada tahun 2019.
 
Kerugian itu timbul akibat dampak langsung maupun tidak langsung dari mulai perkantoran libur, sekolah libur, pembatalan berbagai penerbangan pesawat, maupun aktivitas ekonomi yang berhenti hingga dampak kesehatan.
 
Iola mengingatkan bahwa upaya pencegahan kebakaran jauh lebih penting ketimbang upaya penanggulangan.
 
Menurutnya, model yang sekarang hanya penanggulangan saja, ketika peristiwa sudah terjadi baru sibuk. Kondisi itulah yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan gambut terus terulang setiap tahun.
 
"Upaya mitigasi bukan upaya yang sebentar. Kalau tidak dimulai ulang dan dievaluasi ulang mau sampai kapan masyarakat kena asap terus?" kata Iola.
 
"Menangani kebakaran hutan dan lahan gambut butuh biaya besar dan butuh banyak orang. Ini consent besar yang harus mereka perhatikan," pungkasnya.

Baca juga: BRGM nyatakan 13 juta hektare lahan gambut rusak

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Sambas
Copyright © ANTARA 2023