Beirut (ANTARA News) - Anda mengetahui liburan anda telah berubah 180 derajat dan jadi kacau, ketika pegawai hotel menyelipkan pemberitahuan di bawah pintu kamar yang menunjukkan arah menuju tempat perlindungan dari bom. Sepasang wisatawan itu sama sekali tak menyadari dan bergairah untuk mengunjungi tempat favorit mereka di Timur Tengah begitu tiba di Beirut, tepat saat gerilyawan Hizbullah menangkap dua prajurit Israel --kejadian yang menyulut operasi militer Israel terhadap Lebanon. Bukannya menikmati makan malam dan suasananya yang romantis, mereka malah "mendapat kursi utama untuk menyaksikan pertunjukan gempuran Israel. Padahal mereka sebelumnya memperkirakan akan menyaksikan kota yang mulai memperoleh kembali "kecantikannya" setelah beberapa dasawarsa perang saudara," demikian laporan wartawan Reuters Paul Hughes. Tak lama setelah mereka tiba, tentara Israel mulai menggempur kubu Hizbullah di Beirut selatan. Pengalaman tersebut sama sekali nyaris tak pantas. Selama perang saudara 1975-90 di Lebanon, koresponden asing seperti suami pasangan itu biasa mengagumi kemampuan hotel di Beirut untuk menyediakan anggur nikmat, bahkan pada puncak pertempuran. Sekarang, di Beirut, mereka berada di teras bar hotel mereka, saat rudal menghantam daerah permukiman yang dapat mereka lihat, kata Reuters. Sebagian besar wilayah Beirut tak berdaya menghadapi serangan udara Israel. Segelintir berondongan anti-pesawat yang setengah hati sama sekali tak cukup untuk menjatuhkan pesawa tempur Israel. Tetap tabah Para pelayan yang tertib, yang menjadi kebanggaan standard industri perdagangan dan pariwisata di Lebanon berusaha bertahan selama hari-hari kelabu perang saudara, nyaris tak mengedipkan mata saat suara sirene ambulan meraung-raung di jalan di bawah hotel. "Tambah Caipirinhanya, Pak?" Sebelum pemboman, hotel-hotel dipenuhi wisatawan kaya dari Teluk dan wisatawan lokal Lebanon, dan itu akan menjadi musim panas terbaik mereka selama beberapa dasawarsa. Beirut telah mulai percaya kota tersebut akhirnya akan meraih kegemilangannya sebagai tempat bersantai di Timur Tengah. Staf hotel, yang tetap tabah, seperti kebanyakan orang Lebanon, kini morat-marit. Impian itu telah sirna, di tengah gambaran kematian dan korban cedera, puing bangunan dan jembatan, dan ribuan orang yang berlindung di sekolah serta taman. Saat pasangan asing tersebut memutuskan untuk pergi, tiga hari setelah pertempuran meletus, hotel itu akhirnya kosong, kata Reuters. Kedutaan besar Teluk telah mengungsikan warganegara mereka melalui Suriah dalam 24 jam pertama. Inggris, Amerika Serikat dan negara lain Eropa masih membuat rencana pengungsian. Biasanya, perjalanan ke Damaskus dapat ditempuh dalam dua jam naik taksi dari Beirut dengan biaya 100 dolar AS. Hari Sabtu, petugas hotel mengatakan ia hanya dapat menemukan seorang pengemudi taksi yang mau menempuh perjalanan beresiko tersebut, dan ia meminta biaya 1.000 dolar AS. Mereka, kata kantor berita Inggris, dengan susah payah berhasil menemukan seorang pengemudi yang mengenal mereka dari perjalanan mereka sebelumnya, dan mau mengantar mereka melalui jalan gurun. Lalulintas mulai padat di gunung, sekitar satu jam dari ibukota Lebanon --tempat banyak orang kaya Lebanon telah menyelamatkan diri. Tiba-tiba satu kendaraan polisi ngebut ke arah mereka dan personil polisi yang mengendarainya melambaikan tangan agar mobil mereka menepi, katanya. Satu pesawat Israel baru saja membom jalan raya yang akan mereka lalui. Beberapa pesawat masih beroperasi di daerah itu. Lima menit kemudian hati mereka berdebar keras, saat pengemudi mereka ngebut secara gila-gilaan menyusuri jalan, dengan gelisah mengamati langit. Ketika mereka tiba di jalan raya, puing bekas serangan rudal Israel berserakan hanya sekitar dua ratus meter di jalan. Tetapi bagi wisawatan seperti mereka, setidaknya perbatasan sudah terlihat. (*)

Copyright © ANTARA 2006