Dongguan (ANTARA) - Tidak semua orang suka belajar, tapi bisa jadi semua orang suka tempat belajar yang nyaman.

Tidak semua orang berhasil menggapai mimpinya, tapi tentu semua orang boleh bermimpi apa saja, termasuk berada di suasana negeri dongeng yang penuh kastel Eropa.

Bagaimana menggabungkan kedua hal tersebut? Perusahaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) asal China, Huawei mewujudkan hal tersebut di dua "kampus" yang terletak di kota Dongguan, Provinsi Guandong.

Disebut sebagai kampus karena dua tempat tersebut menjadi lokasi pelatihan bagi para karyawawan baru Huawei maupun karyawan yang akan ditempatkan di posisi baru, sekaligus menjadi kantor riset dan pengembangan berbagai produk dan jasa keluaran Huawei.


Kampus Ox Horn

Kampus Huawei Ox Horn berdiri di sisi selatan Danau Songshan, Kota Dongguan, Provinsi Guangdong. Lokasi tersebut dapat ditempuh dengan perjalanan darat sekitar satu jam dari "Silicon Valley-nya" China, yaitu Kota Shenzhen yang juga menjadi kantor pusat Huawei.

Saat masuk ke kampus tersebut, mata pengunjung akan langsung tertuju pada satu bangunan megah dari batu merah dan plester merah bata mirip istana pada masa kerajaan Eropa berjaya.

Memang bangunan tersebut terinspirasi dari Universitas Heidelberg di Jerman dan ditambah dengan danau kecil dan pepohonan di depan "kastel" memberikan kesan teduh, sehingga tidak membuat orang yang pertama kali datang ke sana berpikir bahwa bangunan tersebut sebenarnya adalah kantor RnD perusahaan teknologi di China.

Kampus Ox Horn berdiri di lahan seluas 140 hektare yang terbagi menjadi 12 blok, sesuai dengan kota-kota utama Eropa, misalnya Paris, Burgundy (Prancis), London (Inggris), Brussel (Belgia), Granada (Spanyol), Bologna, Verona (Italia), Heidelburg, Freiburg dan Frankfurt (Jerman), dan Cesky Krumlov (Ceko).

Kompleks Kampus Ox Horn dibangun pada September 2014 dan pada Juli 2018 mulai menerima "mahasiswa" perdana, yaitu pegawai-pegawai Huawei bidang RnD. Di dalam 12 blok tersebut, ada 108 bangunan yang dapat menampung 25 ribu staf Huawei,
 
Bangunan bergaya Eropa di kampus Huawei Ox Horn, Dongguan, provinsi Guangdong, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

"Misalnya di bagian ini, adalah departemen GTS (Global Technology Services). Jadi, bagian RnD di gedung ini sedang mengembangkan bagaimana menyelesaikan masalah teknis bagi pengguna GTS Huawei di seluruh dunia, namun setelah satu masalah selesai, selanjutnya mereka juga harus meningkatkan layanan. Jadi, pengembangan teknologi dilakukan terus menurus," kata salah satu pemandu saat ANTARA bersama wartawan lainnya melewati Blok London.

Huawei mengundang sejumlah wartawan untuk menghadiri acara "Sustainability Forum 2023" dengan tema "Thriving Together with Tech for Sustainable Development", yaitu acara untuk menyampaikan capaian Huawei dalam membangun infrastruktur komunikasi di berbagai negara.

Hal lain yang menjadikan kampus tersebut juga tampak "mirip Eropa" adalah banyaknya kedai kopi yang tersebar di berbagai lokasi.

"Pendiri Huawei, Mr. Ren pernah mengatakan 'Secangkir kopi menyerap banyak energi semesta'. Jadi, Mr. Ren ingin pegawai-pegawainya juga mendapat energi dari semesta," kata dia.

Di depan kedai-kedai kopi juga disediakan bangku-bangku agar para pegawai dapat berkumpul sambil menyeruput kopi. Menurut sang pemandu, sebenarnya pendiri Huawei Ren Zhengfei ingin pegawai-pegawainya punya waktu untuk berbicara sambil menatap muka rekan kerjanya. Kesan yang didapat tentu sangat berbeda bila mereka "hanya berkomunikasi" melalui aplikasi obrolan di gawai.

Pegawai-pegawai yang bekerja di bagian RnD Huawei dalam kampus Ox Horn kebanyakan berasal dari Shenzhen, sehingga di lokasi tersebut pun disediakan apartemen yang bisa disewa dengan harga murah, namun para pegawai tidak bisa membawa keluarganya ke dalam kampus pada hari kerja.

"Pada akhir pekan adalah hari keluarga. Jadi, para pegawai dapat mendaftarkan nama-nama keluarganya yang ingin datang ke dalam kampus pada akhir pekan untuk berkeliling kampus," ucap sang pemandu.

Satu orang pegawai dapat memperoleh 14 tiket untuk keluarga dalam satu tahunnya.

Untuk berkeliling kampus, Huawei juga menyediakan trem elektrik dengan desain klasik yang mampu melaju hingga kecepatan maksimal 8,5 kilometer/jam di tiga jalur. Terdapat 12 stasiun yang nama-namanya juga menggunakan lokasi di Eropa untuk menghubungkan rel sepanjang 7,8 kilometer.
Trem di kampus Huawei Ox Horn, Dongguan, provinsi Guangdong, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Stasiun-stasiun dan peron trem tersebut juga tampak elegan dengan balutan batu marmer. Tidak ketinggalan berbagai taman yang tertata rapi di sekitar kastel dan stasiun.

Pegawai yang bekerja di satu blok dapat menggunakan trem bila ingin mendatangi gedung atau restoran yang terletak di blok lain kampus tersebut.

Trem juga melewati jembatan yang terinspirasi dari Liberty Bridge di Hungaria. Jembatan itu menghubungkan 8 blok dengan 4 blok lainnya. Bila para pegawai ingin membeli camilan atau kebutuhan sehari-hari, mereka juga bisa mendatangi "conveniece store" 7/11 atau Lawson yang tersebar di berbagai lokasi.

Satu bangunan yang cukup besar di Kampus Ox Horn bernama "2012" yang ada di Blok Bologna. Nama itu dipilih karena Ren Zhengfei terpesona dengan film Hollywood berjudul 2012 yang menceritakan mengenai hari kiamat umat manusia. Ia pun yakin bahwa akan ada ledakan besar yang dapat menghancurkan dunia beserta isinya pada masa depan.

Kampus Huawei Ox Horn bergaya Eropa itu sesungguhnya dirancang oleh arsitek asal Jepang, untuk kampus di China dengan pegawai dan klien yang berasal dari banyak negara.
Salah sudut di kampus Huawei Ox Horn, Dongguan, provinsi Guangdong, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

"Pendiri Huawei ingin karyawannya merasakan ekosistem yang berbeda dengan yang dirasakan sehari-hari di China karena klien Huawei juga berasal dari berbagai negara, sehingga para pegawainya butuh pola pikir kosmopolitan maupun kemampuan lebih untuk meningkatkan kinerja," kata sang pemandu.


Kampus Sanyapo

Hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari kampus Ox Horn, Huawei juga membangun kampus Sanyapo (secara literal berarti "Tiga Jari") khusus sebagai tempat pelatihan bagi para pegawai baru maupun pegawai yang akan menempati posisi baru.

Para pegawai baru akan berada di kampus itu selama satu pekan, sedangkan pegawai lama dengan posisi baru akan belajar selama 2 pekan hingga 6 bulan di kampus yang juga bergaya Eropa tersebut. Kampus tersebut baru selesai sepenuhnya pada 2022, meski sudah mulai beroperasi pada 2020.

Salah satu bangunan yang tampak menonjol di Kampus Huawei Sanyapo adalah "istana" putih gading yang megah. Istana tersebut sebenarnya adalah perpustakaan besar yang memiliki 110 ribu koleksi buku dari berbagai masa dan bahasa.
Gedung perpustakaan di Kampus Huawei Sanyapo, Dongguan, provinsi Guangdong, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Perpustakaan itu juga dirancang sangat detail dan berkelas.

Bagian langit perpustakaan berupa mosaik kaca melengkung yang disusun sedemikian rupa, sehingga cahaya Matahari dapat tetap masuk, namun tidak menyilaukan mata pengunjung.

Di pinggiran mosaik kaca tertulis kota-kota besar di dunia, baik pada masa modern maupun kuno, seperti London, Mexico City, Kyoto, Babylon, Yerusalem, Roma, New York, Byzantium, Beijing, Alexandria, dan kota-kota lainnya.

"Kota-kota tersebut menunjukkan progres dari peradaban umat manusia," kata seorang pustakawan.

Selain itu, di bagian langit-langit juga ada pola yang menunjukkan relasi geografis antara dua kota, seperti Beijing dan Alexandria.
Perpustakan di kampus Huawei Sanyapo, Dongguan, provinsi Guangdong, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Buku-buku koleksi perpustakaan Huawei Sanyapo juga beragam, termasuk buku berharga yang ditulis pada abad ke-1 SM dan buku tersebut tidak pernah muncul selama sekitar 2.000 tahun, namun pada abad ke-19 Masehi, satu penerbit ingin memublikasikan ulang buku tersebut dan meminta pelukis ulung asal Spanyol Pablo Picasso untuk membuat ilustrasi dalam buku tersebut.

Buku-buku koleksi perpustakaan, selain berbahasa Mandarin dan Inggris, juga ada yang berbahasa Rusia, India, Kamboja, bahkan Indonesia.

Setidaknya ada 7 buku berbahasa Indonesia yang menjadi koleksi perpustakaan tersebut, yaitu "Hikayat Kretek", "Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam", "Freeport Bisnis Orang Kuat vs Kedaulatan Negara", "Hakikat Ilmu Pengetahuan Budaya", "Meluhurkan Kemanusiaan", "Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan", hingga "Catatan Suhardi Alius, Memimpin dengan Hati".
Buku berbahasa Indonesia di kampus Huawei Sanyapo, Dongguan, provinsi Guangdong, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Pegawai yang ingin membaca buku koleksi perpustakaan dapat membaca di tempat namun tidak boleh membawa pulang buku-buku itu.

Di depan perpustakaan, ada danau yang menjadi "tempat tinggal" angsa hitam. Secara simbolis angsa hitam menunjukkan sifat tidak mudah puas dalam perusahaan sehingga terus berusaha untuk berpikir secara kreatif dan inovatif.
Angsa hitam di dalam danau di kampus Huawei Sanyapo, Dongguan, provinsi Guangdong, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Untuk membangun kampus bergaya Eropa masa lalu tersebut, Huawei tidak kurang mengeluarkan uang hingga 10 miliar yuan (sekitar 1,4 miliar dolar AS) untuk menjadi "sekolah dan tempat meneliti" 25 ribu orang pegawainya.


Riset Huawei

Ren Zhengfei mendirikan Huawei pada 1987 sebagai perusahaan penyedia jaringan. Saat ini korporasi tersebut telah tumbuh menjadi perusahaan raksasa di bidang jaringan telekomunikasi, teknologi informasi dan komunikasi (TIK), perangkat pintar, layanan cloud hingga kendaraan listrik yang mendunia.

Total pendapatan Huawei pada 2022 mencapai 642,338 miliar yuan (sekitar 92,37 miliar dolar AS yang berasal dari 3 segmen bisnis, yaitu infrastruktur TIK, misalnya meliputi penyediaan jaringan 5G dan sistem pintar, penyediaan infrastruktur TIK, serta produk konsumer, seperti perangkat pintar (ponsel, TV, kendaraan listrik, jam, kacamata, dan lainnya).

Dari jumlah pendapatan tersebut, 25 persen digunakan untuk kebutuhan riset dan pengembangan (RnD), dan dari 25 persen bagian untuk RnD itu, sebesar 55,4 persen digunakan untuk kebutuhan pegawai. Dalam 10 tahun terakhir, Huawei sudah mengalokasikan sekitar 977,3 miliar yuan untuk kebutuhan RnD.
Pekerja berjalan saat jam istirahat siang di di kampus Huawei Sanyapo, Dongguan, provinsi Guangdong, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Jumlah tersebut memang naik signifikan, khususnya sejak 2019, yaitu saat Kementerian Perdagangan AS mamasukkan Huawei dan 70 perusahaan afiliasinya ke dalam "Daftar Entitas", yaitu perusahaan yang terlarang mendapatkan komponen dan teknologi dari perusahaan-perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.

Pelarangan tersebut memang "memaksa" Huawei harus membuat inovasi onderdil mandiri agar produksi dapat terus berjalan. Tak heran, saat ini Huawei pun menjadi perusahaan keempat terbesar di dunia yang menginvestasikan dananya untuk RnD.

Huawei, bukan hanya berhasil meraih mimpi untuk meraih pasar teknologi dan komunikasi dunia, namun dapat "menghadirkan dunia" ke lokasi perusahaan itu berinovasi.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023