Beijing (ANTARA) - Presiden Xi Jinping tidak akan menghadiri Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (COP-UNFCCC) ke-28 yang akan dilangsungkan di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), pada 30 November-12 Desember 2023, kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning.

"Presiden UEA mengirimkan surat undangan kepada Presiden Xi Jinping untuk menghadiri KTT tersebut," katanya saat menyampaikan keterangan rutin kepada media di Beijing, Jumat (24/11).

Untuk secara aktif merespon perubahan iklim dan memperkuat persahabatan tradisional China dengan UEA, Wakil Perdana Menteri Ding Xuexiang akan menghadiri KTT tersebut sebagai Perwakilan Khusus Presiden Xi Jinping, katanya.

Konferensi tahunan yang akan dihadiri lebih dari 190 negara yang telah meratifikasi UNFCCC itu rencananya akan dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dan beberapa menteri terkait.

COP ke-28 diperkirakan akan membahas krisis iklim global dengan latar belakang gelombang panas, serta bencana kekeringan dan banjir yang terjadi di banyak belahan dunia.

"China akan mengupayakan berbagai hal untuk menjunjung tinggi institusi, prinsip dan tujuan sistem UNFCCC, terutama prinsip tanggung jawab bersama namun berbeda-beda dan tema 'Bersatu, Bertindak dan Berhasil'," tambah Mao Ning.

Mao Ning juga menyebut Presiden Xi Jinping masih menilai KTT Perubahan Iklim tersebut akan memberikan panduan politik dan menjadi tonggak penting bagi tata kelola iklim global.

"Kami akan secara sungguh-sungguh ikut serta dalam mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi negara-negara berkembang dan mendorong implementasi Perjanjian Paris secara penuh dan efektif," ungkapnya.

Terlebih selama COP ke-28 berlangsung, G77 juga akan menyelenggarakan KTT G77 dan China dan mengundang para pemimpin negara berkembang untuk hadir.

Sebagaimana diamanatkan Perjanjian Paris, COP28 akan menyampaikan evaluasi komprehensif atau "global stock take" (GST).

GST ini berisi kemajuan kontribusi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional setiap negara atau "nationally determined contribution" (NDC) untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) pada 2050.

Namun akibat dampak invasi Rusia ke Ukraina dan perang Palestina-Israel hasil kesepakatan COP27 yang dicapai tahun lalu di Sharm el-Sheikh telah gagal menghapus bahan bakar fosil secara bertahap.

Ketergantungan yang terus-menerus pada bahan bakar fosil hanya akan menghambat pengembangan energi bersih, terbarukan, dan berkelanjutan.

Bahkan berdasarkan laporan UNFCCC pada 2022, emisi global akan meningkat hampir 14 persen selama dekade ini. Kemudian data UNFCCC 2023 memperlihatkan kebijakan saat ini membawa dunia ke kenaikan suhu 2,8 derajat Celcius pada akhir abad ini.

Baca juga: PBB, sejumlah negara sesalkan keputusan AS keluar Perjanjian Paris
Baca juga: Wapres tinjau paviliun Indonesia di UNFCCC Sharm El-Sheikh Mesir

 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2023