Jakarta (ANTARA) - Sosok guru sudah sepatutnya mendapat apresiasi tak terbatas dari siapa pun. Perhargaan itu sangat pantas, mengingat orang-orang hebat mampu meraih dunianya berkat mereka yang disebut pahlawan tanpa tanda jasa.

Para guru menempuh perjalanan panjang dan berliku agar mampu membentuk generasi yang berilmu, beradab, dan memiliki rasa tanggung jawab tinggi terhadap lingkungan sekitar.

Bahkan, terkadang seorang guru harus mengorbankan mimpi lainnya hingga meninggalkan setumpuk kenyamanan untuk keluar dari zona yang biasa mereka lalui, demi menyemai calon penerus bangsa yang berkualitas.

Salah satu guru itu adalah Siti Saudah. Selepas lulus dari jurusan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada 2011, Siti justru ingin mengabdikan dirinya di daerah terpencil.

Berbeda dengan banyak guru lainnya yang memilih mengajar di kota, Siti ingin ilmunya bisa menyentuh anak-anak di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) di Indonesia agar mereka memiliki kesempatan yang sama dalam meraih cita-cita.

Harapan mulia Siti untuk mengajar sampai pelosok negeri tercapai setelah ia mengikuti Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal hingga akhirnya ditugaskan di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, Aceh.

Ada cerita menarik ketika Siti pertama kali menjadi pendatang di daerah tersebut. Wanita berjilbab ini awalnya dicurigai sebagai mata-mata pemerintah, namun setelah berjalannya waktu, warga mengerti tujuan Siti datang ke Aceh betul-betul untuk mengajar.

Setelah menyelesaikan satu tahun pengabdian di Aceh Besar, Siti mendapatkan bonus beasiswa kuliah Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan memiliki kesempatan pulang kampung sambil mengajar di Pati, Jawa Tengah.


Putar balik arah 

Keputusan Siti kembali ke Jawa Tengah dan mengajar di SMA 3 Pati selama 2014 sampai 2017 ternyata memberinya banyak kesempatan untuk menggali potensi, bahkan kariernya sebagai guru mendapat jalan yang mudah.

Meski demikian, di tengah segala kenyamanan yang dirasakan tak lantas membuat Siti terbuai. Hati kecil Siti terusik akan ingatannya ketika mengajar di Aceh. Ia seketika teringat bahwa masih banyak tempat terpencil di Indonesia yang membutuhkan guru seperti dirinya.

Gayung bersambut, rasa risau di hati Siti terjawab, seiring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2017 membuka kesempatan untuk mengabdi sebagai guru di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal.

Siti tak bisa mengelak karena panggilan jiwanya untuk kembali mengabdi ke daerah tertinggal tak terbendung lagi. Tak disangka mimpi itu kembali ia genggam, Siti mendapat penempatan di SD Negeri Lawinu di Tanarara, Desa Katikutana, Kecamatan Matawai La Pawu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sekolah yang berada di kawasan pinggir Taman Nasional Laiwangi Wanggameti ini memiliki kondisi yang jauh dari ideal. Hanya terdiri dari dua unit bangunan yang mulai dimakan usia.

Bangunan itu berada di atas bukit, sementara sebagian besar murid adalah anak-anak petani yang datang ke sekolah bertelanjang kaki. Mereka harus berjalan satu jam atau lebih, mendaki bukit-bukit tandus dari kampung.

"Di balik bukit tinggi ada berlian," begitu lah kepercayaan Siti. Segala keterbatasan sekolah itu justru membuatnya langsung jatuh hati. Ia ingin mengabdi karena meyakini para murid memiliki potensi besar yang tak terhingga untuk bangsa dan negara.

Sembari beradaptasi dengan lingkungan, Siti mulai menata laporan keuangan sekolah yang belum terkelola dengan baik. Ia membuat sistem pelaporan agar mudah dipahami, sehingga guru-guru lain bisa mengikuti. Menurutnya, langkah ini akan membuat operasional sekolah berjalan lancar.

Siti juga melatih para guru mengoperasikan laptop yang selama ini hanya menjadi onggokan suvenir di meja karena tidak ada yang berani menyentuh, kecuali kepala sekolah. Perlu waktu setahun menumbuhkan keberanian para guru untuk berlatih mengoperasikan laptop.

Kini sudah ada sembilan laptop di sekolah itu dan satu personal computer (PC), sehingga setiap orang bisa menggunakan satu laptop. Kini, guru-guru sudah bisa menjelajah dan mencari bahan pembelajaran dari internet, membuka e-mail, dan melakukan rapat melalui aplikasi Zoom.

Pada tahun 2021 ketika ada Asesmen Nasional Berbasis Komputer, beberapa sekolah sekitar berkumpul di SD Negeri Lawinu untuk memakai fasilitas dan belajar cara memakai laptop dari guru-guru di sekolah itu.


Kreativitas guru

Kemampuan para guru yang semakin memadai terhadap teknologi membuat mereka sadar bahwa perkembangan para murid masih rendah, terutama terhadap kemampuan membaca dan menghitung.

Di kelas IV SD Negeri Lawinu, tempat Siti mengajar, hanya ada lima siswa yang bisa membaca agak lancar, enam siswa bisa mengeja kata, dan enam lainnya sama sekali belum mengenal huruf.

Kondisi tersebut, bahkan lebih parah di kelas bawah karena hampir semua siswa belum bisa mengeja dan menuliskan huruf.

Menurut hasil penelitian Program Kemitraan untuk Pengembangan Kapasitas dan Analisis Pendidikan, Sumba Timur memang merupakan salah satu kabupaten yang tingkat literasi dan numerasi dasarnya rendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Oleh sebab itu, Pemerintah Kabupaten Sumba Timur berkolaborasi dengan Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) menyelenggarakan program Literasi Dasar awal tahun 2018 dengan Siti terpilih menjadi salah satu fasilitator daerah beserta 62 guru lain.

Tugas mereka adalah mengajarkan modul-modul pelatihan kepada pendidik kelas awal, yaitu kelas satu, dua, dan tiga, di 13 kecamatan yang menjadi penerima program daerah.

Berbagai pendampingan dan pelatihan fasilitator daerah (fasda) memperkenalkan metode mengajar yang memudahkan siswa cepat menyerap pembelajaran. Contohnya, beberapa pelatihan strategi mengajar, konsep belajar, guru kreatif, dan cara meningkatkan kemampuan literasi siswa di kelas awal.

Dalam hal ini Siti bertugas memberikan pelatihan kepada guru kelas rendah se-Kecamatan Matawai La Pawu dan melakukan pendampingan untuk sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah sasaran.

Siti tak sekadar bicara, ia memberi contoh dengan merancang sendiri bahan ajar yang mudah dipahami murid-muridnya. Siti merasa bahagia mengajar anak-anak di pelosok. Setiap hari selalu ada hal baru yang ia dapatkan.

Upaya itu sejalan dengan pesan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim bahwa guru harus memiliki kemerdekaan dalam menjalani profesinya. Guru harus memiliki kesempatan untuk menyesuaikan sistem pembelajaran dengan kompetensi anak. Guru harus menjadi co-creator dari Kurikulum Merdeka.

Semangat siswa-siswi yang menggelegar untuk terus belajar membuat Siti semakin betah mengajar di pelosok negeri. Ia pun bertekad memberikan kesempatan yang sama untuk banyak anak di pelosok negeri.
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023