Jakarta (ANTARA) - “Suami saya memang perokok berat. Seperti lokomotif,” ujar Retno Noto Soedjono, atau akrab disapa Ibu Noto, seorang penyintas kanker paru-paru, mengisahkan pengalamannya.

Ia  tak tahu persis penyebab penyakit yang dideritanya. Dia hanya menduga kanker paru-paru yang diidap karena paparan asap rokok dari lingkungan terdekatnya. Bermula dari batuk yang tak kunjung sembuh, kemudian diputuskannya untuk melakukan pemeriksaan paru-parunya secara menyeluruh.

Saat itu tahun 1991. Dokter yang menanganinya merujuknya  untuk berobat ke Tokyo, Jepang. Ketika dokter memberikan diagnosis penyakit kanker paru stadium nol, pada awalnya dia menerima saja. Namun, perasaannya mulai gentar setelah dokter menjelaskan prosedur operasi.

Paru-paru bagian lobus kiri atas harus diangkat. Tumornya sudah mencapai 2 sentimeter. Itu artinya, ia harus menjalani proses pembedahan. Saat itu dia ingin menjerit karena takut. “Tapi saya bersyukur,  begitu ketahuan (stadium) dini, disuruh operasi. Saya melawan rasa takut dengan menjalani operasi itu,” ujarnya.

Tiga puluh dua tahun telah berlalu. Perempuan yang kini berusia 81 tahun itu tetap memancarkan aura semangat hidup. Satu hal yang ia yakini bahwa Tuhan sudah mengatur “jatah” usia setiap manusia.
Retno Noto Soedjono saat ditemui dalam acara diskusi bersama media di Jakarta, Jumat (24/11/2023). (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)



Cerita berbeda datang dari Hada Kusumonegoro, putri dari Indro “Warkop. Ia menjaga sang ibunda yang menderita kanker paru selama lebih dari satu tahun. Saat didiagnosis pada 10 Agustus 2017, tumor yang tumbuh di paru-paru mendiang Nita Octobijanthy sudah mencapai 8,4 sentimeter. Setelah pemeriksaan lebih lanjut, sel kanker rupanya telah menyebar.

Ketika mengetahui kondisi mendiang, Hada merasa dunia runtuh seketika. Seluruh anggota keluarga juga ikut runtuh. Tapi ia segera menyadari, air mata tak membuat sang ibunda sembuh seketika.

Perlu keputusan cepat, melakukan ikhtiar sebaik-baiknya melalui pertolongan medis. Hada ingat betul, dirinya hanya menangis dua kali, saat sang ibu pertama kali didiagnosis dan saat sang ibu berpulang pada 9 Oktober 2018. “Pada saat itu aku sadar bahwa aku nggak mau sedih lama-lama," tuturnya.  

Hada memutuskan untuk berada di garis terdepan, menjadi yang paling sering mendampingi dan merawat sang ibu. Ia merasa, ibu dan keluarganya butuh pegangan untuk bertahan. Maka intervensi medis pun dilakoni, mulai dari radioterapi hingga kemoterapi. Hari demi hari, sampai sang ibunda wafat.

Harapan dan sistem pendukung

Ketika kondisi kanker yang diidap sang ibu semakin memasuki masa kritis, Hada mulai menyadari, kesembuhan penuh barangkali hanya “bonus”. Tapi ia menyimpan keyakinan. Yang ia percayai, ia harus selalu berusaha untuk memaksimalkan kualitas hidup sang ibu. Sebab, itu pula yang dikatakan dokter.

“Setiap malam aku WhatsApp, ‘Mami, jangan lupa berdoa, ya, biar besok bisa WhatsApp aku lagi’. Aku selalu bilang begitu karena WhatsApp mami itu setiap pagi bikin aku bisa tahu kalau hari ini ada harapan lagi buat nge-jagain mami’,” ucapnya pada acara bincang dengan media.

Hada mengingat-ingat kembali momen kala mendiang ibunya berjuang melawan kanker. Meski telah melewati empat belas kali kemoterapi, semangat sang ibu tak pernah surut.

Maka tak ada alasan baginya untuk berhenti berusaha dan memberikan segala yang terbaik pada sang ibu. Hada berharap, pengalaman itu setidaknya bisa menginspirasi para pendamping pasien kanker (caregiver) yang tengah berjuang di luar sana.
 
Hada Kusumonegoro dalam acara diskusi bersama media di Jakarta, Jumat (24/11/2023). (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)



Sebagai penyintas, Nyonya Noto juga memupuk harapan dan semangat lewat cara lain. Setelah melewati proses pembedahan dan kembali ke Indonesia, dia bergabung dengan Yayasan Kanker Indonesia sebagai sukarelawan sosial. Ia ikut menguatkan pasien kanker yang menjalani pengobatan di rumah sakit, mengajak mereka untuk saling bercerita dan berbagi pengalaman.

Kehadiran sistem pendukung (support system) sangat berarti bagi para pasien kanker. Hal itu merupakan sumber yang menjadi kekuatan bagi mereka untuk memiliki optimisme. Ini diakui oleh Ibu Noto. Sang suami selalu mendampinginya ke manapun berobat. Sistem pendukung, bahkan tak sebatas keluarga atau orang terdekat saja. Sesama penyintas pun juga dapat sangat berarti.

Bagi Ibu Noto pribadi, yang menjalani perawatan di luar negeri, kehadiran sistem pendukung itu bisa bermakna, bahkan sesederhana lewat rawat inap bersama pasien lainnya dalam satu ruangan yang sama atau mendapat jengukan dari orang asing namun berbahasa Indonesia.

“Saya pikir, orang yang di-opname ini kan kebanyakan dari daerah dan mereka nggak punya keluarga di sini (di Jakarta). Jadi, saya yang mendatangi mereka untuk ajak ngobrol dan bertukar pengalaman,” ujarnya. 

Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Prof. Dr. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, Sp.PD-KHOM, FACP meyakini efek kekuatan yang akan muncul berkat kehadiran sistem pendukung. Dia percaya, peran sistem pendukung yang kukuh, yang dimulai dari keluarga, bahkan bisa turut andil dalam upaya pengurangan angka kejadian kanker di Indonesia.

Dukungan vital dari orang-orang terdekat tak hanya berupa bersifat morel. Guru Besar Departemen Pulmonologi Kedokteran Respirasi FKUI Prof. dr. Elisna Syahrudin, PhD. SpP(K), menambahkan bahwa keputusan cepat yang diambil pihak keluarga mengenai jenis pengobatan apa yang dibutuhkan juga termasuk bentuk dukungan lain untuk pasien. Ini demi mencegah terjadinya metastasis atau penyebaran kanker ke bagian organ yang lain serta demi meningkatkan kualitas hidup pasien.

Pengambilan keputusan yang cepat ini turut memengaruhi kehidupan Ibu Noto dan mendiang ibunda Hada. Meski saat itu masih stadium awal, Ibu Noto bersyukur, tindakan medis yang diputuskan secara cepat dan tepat membuatnya tetap bertahan hidup hingga saat ini.

Sementara bagi Hada, pengobatan medis yang diputuskan secara cepat oleh keluarga merupakan pilihan terbaik yang tak akan membuahkan penyesalan hingga saat ini. Itulah sebaik-baiknya ikhtiar demi memperbaiki kualitas hidup pasien dan penyintas kanker.

“Saya setuju sekali kalau para pasien kanker paru, dan penyakit apapun, memang harus memiliki support system terbaik yang bisa menguatkan mereka melewati hari-harinya. Karena setiap hari esok sangat bermakna bagi kami,” kata Hada menutup kisahnya.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023