Jakarta (ANTARA) - Pameran repatriasi yang diselenggarakan Galeri Nasional pada 28 November-10 Desember 2023, untuk merayakan kembalinya benda seni jarahan Belanda dari Indonesia, menjadi babak baru untuk memperkuat dialog kebudayaan dan pengetahuan antara Indonesia dengan Belanda.

"Pameran repatriasi ini membuka peluang dialog, juga mendorong penelitian di dalam negeri. Melalui pameran ini, kami juga menyajikan cerita sejarah dan makna di balik artefak dan benda-benda tersebut, bagaimana perjalanan benda itu dari kawasan Nusantara dan berabad-abad ada di luar negeri," kata Kurator Pameran Repatriasi, Bonnie Triyana dalam tur bersama media di Galeri Nasional, Jakarta, Senin.

Bonnie menjelaskan beberapa benda yang dipamerkan merupakan hasil repatriasi gelombang kedua yang datang pada 9 November 2023, dan berhasil membawa sekitar 312 benda seni penting yang memuat nilai-nilai sejarah peradaban Bangsa Indonesia.

Baca juga: Arkenas: Usut artefak Larantuka di Australia

Setelah hampir dua tahun melakukan dialog dan kerja sama antara Indonesia dan Belanda, pada Juli 2023, telah terlaksana penandatanganan kerja sama bilateral di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda.

Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan tersebut, pada 17 Agustus 2023, gelombang pertama benda repatriasi berupa empat arca dari candi Singosari dikembalikan ke Indonesia. Sedangkan gelombang ketiga repatriasi diperkirakan akan tiba pada akhir tahun 2023.

Bonnie menuturkan repatriasi ini dilakukan oleh Belanda sebagai bentuk melepaskan beban moral dan etika, karena selama bertahun-tahun telah memamerkan barang-barang hasil jarahan dari Indonesia, bahkan untuk memperolehnya harus melalui proses pembunuhan.

"Di generasi ketiga, apalagi di kalangan museum Belanda, mereka merasa punya beban moral ketika memamerkan curian ini bertahun-tahun. Bahkan, di salah satu ruangan di museum di Belanda, ada salah satu koleksi Lombok yang diganti, karena persoalan-persoalan etika secara publik. Ini kan mereka memamerkan pencurian, ada barang-barang yang bahkan memperolehnya melalui pembunuhan, dan selama bertahun-tahun dipamerkan," imbuhnya.

Ia menegaskan repatriasi ini akan membuka ruang dialog dan memacu produksi pengetahuan agar masyarakat lebih paham konteks sejarah dan budaya pada masanya, serta mendalami makna yang bisa diambil hari ini untuk generasi mendatang.

Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid menekankan pentingnya aspek produksi pengetahuan dari artefak dan benda bersejarah yang kembali ke Tanah Air.

Baca juga: BRIN prediksikan valuasi artefak milik Indonesia bernilai Rp20 triliun

Baca juga: Nadiem: Penyelamatan artefak Museum Nasional jadi prioritas utama


"Proses repatriasi ini tidak hanya sekadar pemindahan benda secara fisik dari museum di Belanda ke museum di Indonesia. Lebih dari itu, ini merupakan bagian dari upaya membangun kerja sama penelitian antara peneliti kedua negara, sekaligus penanaman dasar bagi kolaborasi produksi pengetahuan dan perluasan wawasan budaya serta sejarah antar-kedua negara," ucap Hilmar.
Arca Durga Mahisasuramardini, salah satu tokoh mitologi Hindu juga ditampilkan pada Pameran Repatriasi di Galeri Nasional, Jakarta, pada 28 November-10 Desember 2023. (ANTARA/HO-Museum dan Cagar Budaya Indonesia)

Terdapat 152 benda bersejarah yang ditampilkan pada pameran ini, baik dari hasil proses repatriasi sebelumnya dan telah menjadi koleksi masterpiece Museum Nasional Indonesia, seperti koleksi Pangeran Diponegoro dan Arca Prajnaparamita maupun benda bersejarah yang tiba di tahun ini, seperti koleksi Candi Singosari, Keris Klungkung, dan koleksi Pusaka Kerajaan Lombok.

Baca juga: Menyambut kembalinya kepingan memori Indonesia dari Belanda

Pameran ini dilangsungkan di Gedung A Galeri Nasional pada pukul 10.00-20.00 WIB. Pengunjung wajib melakukan registrasi secara daring terlebih dahulu melalui laman gni.kemendikbud.go.id/kunjungi-kami. Waktu kunjungan dibagi dalam 10 sesi setiap hari, dan demi keamanan benda bersejarah dan kenyamanan pengunjung, setiap sesi diberikan kapasitas maksimal 100 orang.

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023