Jakarta (ANTARA) - Ombudsman RI merilis hasil kajian cepat terkait integrasi data administrasi kependudukan bagi orang asing dan perubahan status kewarganegaraan.

Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih menemukan dua potensi malaadministrasi saat belum adanya integrasi data kependudukan dan mekanisme verifikasi dokumen ketika mengurus administrasi kependudukan.

"Terdapat potensi malaadministrasi berupa pengabaian kewajiban hukum terhadap pemenuhan sistem verifikasi dan validasi pencatatan administrasi kependudukan dalam pelayanan administrasi kependudukan bagi orang asing," kata Najih di Jakarta, Selasa.

Selain itu juga terdapat potensi malaadministrasi pengabaian kewajiban hukum dalam mewujudkan integrasi dan keterhubungan data pewarganegaraan, kewarganegaraan dan administrasi kependudukan.

Najih mengatakan status kependudukan dan kewarganegaraan sangat penting untuk diatur seperti yang tertuang di dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Dengan kata lain, setiap status kependudukan dan kewarganegaraan akan berimplikasi pada hak dan kewajiban yang melekat di dalamnya. Ia mencontohkan seseorang tidak diperbolehkan menurut UU untuk menjadi kepala daerah dan/atau pejabat publik lainnya apabila status kewarganegaraannya bermasalah atau masih berstatus warga negara lain.

Baca juga: Ombudsman ingin capres punya kebijakan jangka panjang soal impor beras

Baca juga: Pemerintah diminta ratifikasi konvensi ILO cegah perbudakan awak kapal


Anggota Ombudsman RI Jemsly Hutabarat mengatakan pihaknya memberikan saran perbaikan jangka pendek agar membangun mekanisme pemberitahuan atau tembusan kepada Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM dan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM terkait dengan produk hukum yang diterbitkan oleh masing-masing instansi yang berkaitan dengan orang asing pemegang ITAS/ITAP.

Lalu, orang asing yang telah memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui proses pewarganegaraan hingga WNI yang kehilangan status kewarganegaraan Indonesia.

"Kepada Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri agar menyusun petunjuk teknis terkait proses verifikasi dan validasi dalam pelayanan administrasi kependudukan bagi orang asing berupa pencatatan administrasi kependudukan bagi orang asing yang tinggal di Indonesia (SKTT dan KTP-e orang asing)," ujar Jemsly.

"Pencatatan administrasi kependudukan bagi orang asing yang telah memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui proses pewarganegaraan, pencatatan administrasi kependudukan bagi WNI yang kehilangan status kewarganegaraan," tambahnya.

Sementara itu, sambung Jemsly, untuk Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM, Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Ombudsman memberikan saran perbaikan agar melaksanakan ketentuan Pasal 58A Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia jo. Pasal 62 huruf c dan d Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Turut hadir sebagai penerima hasil kajian, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Teguh Setyabudi, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM, Cahyo Rahadian Muzhar dan Direktur Sistem dan Teknologi Informasi Keimigrasian Ditjen Imigrasi, Agato PP Samora

Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023