Perlu disosialisasikan di SD untuk menambah waktu anak-anak itu berolahraga sehingga anak-anak yang main gadget dalam ruangan keluar mendapatkan paparan sinar matahari.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr Fitriah Ernawati mengatakan permasalahan stunting dan gizi mikro dapat diatasi dengan mengkonsumsi mineral seng atau Zinc dan vitamin D.

“Berdasarkan data Riskesdas pada 2021 menunjukkan 20 persen anak usia 5 sampai 12 tahun kekurangan seng dan 13 persen kurang vitamin D,” kata Fitriah dalam webinar yang dipantau di Jakarta, Selasa.

Fitriah menjelaskan stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang.

“Jadi karena adanya infeksi berulang itu harusnya anak tumbuh sehingga dipakai untuk imunitasnya digunakan untuk melawan infeksi yang terjadi di dalam tubuhnya,” ujarnya.

Baca juga: Kemenkes: Penting pemenuhan gizi secara proporsional pada anak

Baca juga: Kepala BKKBN: Pemberian makanan untuk stunting tak boleh dipolitisasi


Ia mengungkapkan berdasarkan jurnal media kesehatan masyarakat Indonesia ada hubungan yang signifikan antara kecukupan seng dengan kejadian stunting.

“Asupan seng yang rendah itu berisiko 1 sampai 9 kali terhadap kejadian stunting,” ungkapnya.

Doktor lulusan Institut Pertanian Bogor itu menuturkan selain peran seng berdasarkan jurnal Fakhira terdapat pengaruh defisiensi vitamin D terhadap proses pertumbuhan tulang pada balita stunting sehingga menghambat fungsi IGF-1 dalam peningkatan osteoblastogenesis.

“Vitamin D itu berperan dalam metabolisme tulang pada saat pertumbuhan dan juga meningkatkan imunitas anak,” tutur Fitriah.

Menurutnya, perlunya eksplorasi bahan pangan lokal sebagai sumber gizi mikro khususnya yang terkait untuk pertumbuhan anak.

“Peranannya cukup besar karena yang mengelola, yang bisa di metabolisme dengan sempurna apabila zat gizi mikro ini cukup, zat gizi mikro ini punya fungsi untuk imunitas, untuk kerja enzim, dan sampai ke DNA,” ujarnya.

Dia menambahkan kurang vitamin D lebih besar terjadi pada perempuan daripada laki-laki karena anak laki-laki banyak bermain di luar.

“Perlu disosialisasikan di SD untuk menambah waktu anak-anak itu berolahraga sehingga anak-anak yang main gadget dalam ruangan keluar mendapatkan paparan sinar matahari serta memperbanyak konsumsi hewani,” ucap Fitriah.*

Baca juga: Kepala BKKBN: Data keluarga harus hidup untuk sambut bonus demografi

Baca juga: BKKBN: Jumlah keluarga berisiko stunting turun di akhir tahun 2023

Pewarta: Bayu Pratama Syahputra
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023