Jakarta (ANTARA) - Penggemar Manchester City mungkin akan bertanya "pada menit ke berapa timnya mencetak gol" ketimbang "menang enggak ya, tim saya" yang mungkin sering menggayuti pikiran pendukung Manchester United.

Salah satu momen yang melukiskan kontras itu adalah hasil pertandingan kelima fase grup Liga Champions, Rabu dan Kamis dini hari lalu.

Penggemar City memang sempat bertanya ada apa pada timnya sampai tertinggal 0-2 dari RB Leipzig.

Namun, di lubuk hatinya, penggemar City selalu yakin timnya bakal bangkit seperti saat mereka ditahan seri 4-4 oleh Chelsea pada pertandingan liga, 12 November silam.

Benar saja, walau dua gol Lois Openda membuat Leipzig di atas angin sampai babak pertama berakhir, City bangkit melawan.

Balasan pertama datang dari Haaland pada menit ke-54. Dua puluh menit menjelang waktu normal usai, Phil Foden menetralkan keunggulan Leipzig.

Akhirnya, Julian Alvarez membawa City berbalik menang 3-2 dan membuat pendukung Leipzig merana karena timnya menyianyiakan keunggulan 2-0 dari tim terhebat di Eropa itu.

Hal sebaliknya terjadi Kamis dini hari lalu di Stadion Ali Sami Yen, Istanbul, Turki, ketika Manchester United dijamu Galatasaray.

Di stadion itu, pendukung tuan rumah membentuk tulisan "selamat datang di neraka" untuk mengintimidasi United. Mereka sudah biasa melakukan hal seperti itu kepada setiap tim tamu.

Manakala Aljendro Garnacho dan Bruno Fernandes membawa United unggul 2-0 dalam 18 menit pertama pertandingan itu, pendukung Setan Merah pasti senang tapi juga mungkin was-was, akankah keunggulan itu bertahan?

Sepuluh menit setelah gol Fernandes, Hakim Ziyech menipiskan keunggulan United dari tendangan bebas. Namun, Scott McTominay memulihkan keunggulan dua gol United pada menit ke-55.

Tapi, begitu Zieyech kembali menyarangkan gol dari tendangan bebas yang sama seperti gol pertamanya, pendukung United mulai cemas, membayangkan timnya gagal mencuri tiga poin.

Bayangan itu menjadi kenyataan ketika Muhammed Kerem Akturkoglu membawa Galatasaray menyamakan kedudukan pada menit ke-71.

Situasi dramatis yang membuat penggemar United bagaikan "di-prank" oleh tim kesayangannya sendiri itu sudah sering terjadi musim ini.

Halaman berikut: Old Trafford sudah tidak angker
Kandang tak angker lagi

Hasil pertandingan Liga Champions itu sendiri kian menegaskan ada kesenjangan besar antara Manchester Merah dan Manchester Biru.

Jika dalam Liga Champions musim ini City memenangkan semua dari lima laga sejauh ini, maka United sudah tiga kalah. City lolos ke-16 besar, sedangkan United di ambang terlempar dari kompetisi ini.

Kalau City menciptakan 15 gol dan kemasukan 5 gol, maka United memasukkan 12 tapi kemasukan 14 gol.

Performa di level liga pun begitu. Walau United masih bisa mengejar City, tapi City sudah terlalu kuat untuk disaingi.

City sudah mencetak 33 gol di level liga. Jumlah itu dua kali lipat lebih banyak dari gol United yang baru mengemas 16 gol.

City yang demikian superior, sampai-sampai memupus aura Old Trafford.

Di kandang United itu pada 29 Oktober, City mencetak tiga gol tanpa balas, yang dua di antaranya diciptakan oleh Haaland.

Padahal salah satu petunjuk kuatnya sebuah tim adalah performa di kandang sendiri. Di sini, catatan United jauh di bawah The Citizen.

Dalam enam laga kandang di level liga, City menang lima kali. Jika ditambah tiga pertandingan Liga Champions, City sudah 8 kali menang dari 9 laga kandang.

Sebaliknya, dari 7 pertandingan kandang di liga, United kalah 3 kali dan menang 4 kali. Jika ditambah Piala Liga dan Liga Champions, maka United sudah lima kali kalah di Old Trafford.

Ya, Manchester City semakin perkasa, ketika United tetap tidak konsisten, sampai rangkaian catatan buruk pun mereka buat.

Ketika menelan kekalahan kelima dalam 10 pertandingan pertamanya musim ini pada 30 September dari Crystal Palace, Manchester United membuat catatan terburuk dalam 93 tahun terakhir.

Saat kalah dua kali berturut-turut dalam pertandingan liga dengan kebobolan 3 gol sewaktu menghadapi Arsenal dan Brighton bulan Agustus lalu, United juga membuat statistik terburuk dalam 61 tahun terakhir.

Tak ada yang benar-benar tahu apa yang membuat United semakin lebih buruk dari City.

Halaman berikut: Skuad MU lebih mahal dibanding The Citizen.
  Lebih mahal

Jika harga menjadi jaminan kualitas pemain, United sebenarnya di atas The Citizen.

Menurut CIES Football Observatory, total nilai skuad United musim ini adalah 992 juta pound (Rp19,5 triliun), sedangkan City pada 899 juta pound (Rp17,7 triliun). Artinya, United lebih mahal Rp1,8 triliun.

Ironisnya, skuad yang lebih mahal itu, memberikan hasil jauh lebih buruk dari pada skuad yang lebih murah.

Oleh karena itu, mungkin masalahnya bukan pada pemain. Mungkin ini soal pelatih saja, apalagi catatan Manajer Manchester City Pep Guardiola memang lebih hebat dari Manajer Manchester United Erik ten Hag.

Sepanjang melatih City sejak 2016, Guardiola sudah 14 kali mengalahkan Setan Merah.

Sebaliknya, sejak bergabung dengan United pada 2022, ten Hag baru sekali menang dan tiga kali dikalahkan Manchester City.

Tapi Erik 0ten Hag tak bisa dijadikan kambing hitam tunggal untuk memburuknya United yang di ambang terlempar dari Liga Champions.

Ten Hag bergabung dengan klub yang sejak 2013 tak pernah lagi menjuarai liga, walau sudah dilatih David Moyes, Louis van Gaal, Jose Mourinho, Ole Gunnar Solksjaer, dan Ralf Rangnick.

Ini berbeda dengan Guardiola. Pelatih ini bergabung dengan City pada 2016, ketika fondasi juara City sudah kuat setelah dibangun oleh Roberto Manchini dan Manuel Pellegrini.

Manchini mengantarkan City menjuarai liga pada musim 2011-2012, sedangkan Pellegrini mempersembahkan trofi juara liga pada musim 2013-2014.

Saat City menyewa Guardiola, manajemen klub itu memasang target jelas, yakni juara liga dan juara Liga Champions.

Target seperti itu tak pernah benar-benar dibebankan kepada pelatih-pelatih Manchester United pasca Sir Alex Ferguson, termasuk Erik Ten Hag.

Kesuksesan City sendiri tak cuma dibangun oleh Guardiola, tapi juga berkat dukungan pemilik kepada pelatih dalam mengimplementasikan visinya dan mencapai target yang ditetapkan klub kepadanya. Aspek ini tak ada di United.

Lalu, apakah Sir Jim Ratcliffe yang menguasai 25 persen saham United akan membawa hal positif yang gagal dihadirkan Keluarga Glazer?

Belum tentu, apalagi Ratcliffe sendiri belum mampu mengantarkan tim-tim olah raga kepunyaannya ke puncak prestasi, termasuk FC Lausanne di Liga Swiss dan Nice di Liga Prancis.

Namun, ada baiknya dia meniru totalitas Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan di Manchester City.

Walaupun begitu, kehadiran Ratccliffe sudah mulai mengusik zona nyaman di United. Ini sudah merupakan pesan yang membawa harapan. Laga United melawan Newcastle akhir pekan ini bisa memperjelas atau mengaburkan harapan itu.

Baca juga: Ten Hag sayangkan MU gagal bawa pulang tiga poin lawan Galatasaray
Baca juga: Manchester United di ujung tanduk setelah ditahan imbang Galatasaray
Baca juga: Postecoglou sangat kecewa Spurs kalah di kandang dari Aston Villa

 

Copyright © ANTARA 2023