Jakarta (ANTARA News) - Momentum peringatan Hari Anak Nasional (HAN), Minggu (23/7), hendaknya diisi kegiatan bermanfaat lain bagi anak di rumah, yakni tidak menonton televisi (TV) demi perlindungan mereka dari tayangan yang tak berguna. Demikian ajakan Koordinator Hari Tanpa TV (HTT), Guntarto, saat dihubungi di Jakarta, Minggu pagi, terkait dengan gerakan tersebut. Menurut Guntarto yang juga Ketua Pengembangan Media Anak, sekitar 60 juta anak Indonesia menonton TV selama berjam-jam hampir sepanjang hari dengan materi tontonan yang beragam, karena memang kebanyakan keluarga di Indonesia tidak memberi batasan yang jelas. Acara itu antara lain mulai gosip selebritis, berita kriminal berdarah-darah, sinetron remaja yang penuh kekerasan, seks, intrik, mistis, amoral, film dewasa yang diputar pada pagi, siang dan sore hari dan penampilan grup musik Indonesia maupun luar yang berpakaian seksi dan menyanyikan lagu dengan lirik orang dewasa. Selain itu, sinetron berbungkus agama yang banyak menampilkan rekaan azab, hantu, iblis, siluman, dan seterusnya. "Termasuk juga acara anak yang sebagian besar berisi adegan yang tidak aman dan tidak pantas ditonton anak," katanya. Oleh karena itu, lanjutnya, tidak bisa dibayangkan jika anak-anak itu setiap hari harus menelan hal-hal dari tv yang jelas-jelas tidak untuk mereka tapi untuk orang dewasa. "Anak-anak akan sangat berpotensi untuk kehilangan keceriaan dan kepolosan mereka karena masuknya persoalan orang dewasa dalam keseharian mereka. Akibatnya, sering terjadi gangguan psikologi dan ketidakseimbangan emosi dalam bentuk kesulitan konsentrasi, perilaku kekerasan, pertanyaan-pertanyaan yang `di luar dugaan" dan sebagainya," katanya. Namun, ia juga mengakui, hanya sedikit anak yang beruntung bisa memiliki berbagai kegiatan, fasilitas, dan orang tua yang baik sehingga bisa mengalihkan waktu anak untuk hal-hal yang lebih penting daripada sekadar menonton tv. "Namun jutaan orang tua di Indonesia pada umumnya cemas dan khawatir dengan isi siaran tv kita," tegasnya. Kepentingan bisnis Ia juga menilai, kalangan industri televisi punya argumentasi sendiri mengapa mereka menyiarkan acara-acara yang tidak memperhatikan kepentingan anak dan remaja. "Intinya, kepentingan bisnis telah sangat mengalahkan dan menempatkan anak dan remaja kita sekedar sebagai pasar yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya," tuturnya. Ditegaskannya juga, meski stasiun TV sudah mulai memperbaiki isi siaran mereka, namun hal itu tetap tidak bisa menghilangkan kesalahan mereka di masa lalu dalam memberi "makanan" yang merusak jiwa puluhan juta anak. Pemerintah maupun institusi lain, terbukti tidak mampu membuat peraturan yang bisa memaksa industri televisi untuk lebih sopan menyiarkan acaranya. Oleh karena itu, tegasnya, tidak ada pilihan lain kecuali individu sendiri yang harus menentukan sikap menghadapi situasi ini. "Anggota masyarakat yang bersatu dan memiliki sikap yang sama untuk menolak perilaku industri televisi kita, akan menjadi kekuatan yang besar apabila jumlahnya makin bertambah. Penolakan oleh masyarakat yang merupakan pasar bagi industri televisi, pada saatnya akan menjadi kekuatan yang besar," katanya. Dukungan menguat Terkait dengan gerakan Hari Tanpa TV (HTT) bagi anak tersebut, dia mengaku hingga Sabtu malam (22/7), sejumlah komunitas TV sehat dan beberapa LSM lain yang menggagas HTT yang bertepatan dengan Hari Anak Nasional ini, sudah menerima dukungan tertulis dari 170 lembaga dan lebih dari 600 orang melalui e-mail dan sms. "Dukungan yang kita harapkan membesar ini nantinya akan disampaikan ke stasiun televisi, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Depkominfo," katanya. Ia juga mengatakan ke depan, HTT ini diharapkan dapat menjadi gerakan masyarakat yang didukung oleh jutaan warga Indonesia yang prihatin dengan tayangan TV dan menginginkan adanya perubahan yang jelas. Gerakan yang didukung oleh jutaan orang pasti akan diperhitungkan oleh industri televisi karena hal itu terkait dengan rating dan iklan. "Kami pun akan meningkatkan pemantauan acara anak remaja, serta acara-acara yang ditayangkan pada jam-jam anak biasa menonton tv dan mengajak seluruh unsur masyarakat untuk tidak menonton acara yang merusak jiwa anak," katanya. Ia menambahkan, saat ini masyarakat harus bersikap, tidak menunggu atau mengharap dari industri penyiaran, pemerintah, maupun dari Komisi Penyiaran Indonesia karena sampai sejauh ini mereka tidak mampu merubah isi tayangan TV menjadi lebih sehat. (*)

Copyright © ANTARA 2006