Jakarta (ANTARA) - Komisi Penyiaran Indonesia Pusat terus mendorong revisi Undang-Undang Penyiaran agar bisa ikut mengatur konten media baru, termasuk media sosial.

"Kami setiap hari menerima pengaduan masyarakat tentang media sosial, sedangkan menurut Undang Undang Nomer 32 mandatnya KPI hanya mengawasi TV dan radio bukan media baru, termasuk media sosial,” ujar Anggota Bidang Kelembagaan KPI Pusat Amin Shabana di Jakarta, Senin.

Amin mengemukakan hal itu pada Diskusi Publik Tantangan Penyiaran di Era Digital kerjasama Lembaga Uji Kompetensi Wartawan Universitas Muhammadiyah Jakarta (LUKW MJ) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.

Diskusi turut menghadirkan Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah dan anggota KPI Jawa Barat Roni Thabroni MSi, pakar media Dr. Makroen Sanjaya MSos dan sambutan dari Rektor UMJ Prof. Dr. Ma'mun Murod, Dekan Fisip Prof. Dr. Evi Satispi MSi dan Direktur LUKW UMJ Dr. Tria Patrianti MIKom.

Baca juga: DPR optimistis revisi UU Penyiaran rampung sebelum Pemilu 2024

Amin mengemukakan upaya revisi Undang-Undang Penyiaran menjadi tanggung jawab bersama, termasuk perguruan tinggi.

“Kemarin kami ketemu BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), kami sampaikan agar ikut mendorong revisi Undang-Undang Penyiaran,” kata dosen UMJ tersebut.

Amin mengatakan perlu memperhatikan hulu dan hilir dengan mendorong revisi UU Penyiaran agar bisa merespons media baru

“Sekarang hanya mengawasi televisi teresterial dan radio, sedangkan media baru, seperti Netflix, Disney Channel belum menjadi tanggung jawab KPI,” katanya.
Diskusi Publik Tantangan Penyiaran di Era Digital kerjasama Lembaga Uji Kompetensi Wartawan Universitas Muhammadiyah Jakarta (LUKW MJ) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. ANTARA Foto/Agus Setiawan (1)


Demikian pula, KPI tidak bisa mengawasi kampanye negatif saat Pemilu 2024 dan pembuatan judul berita click bait di media sosial untuk menaikkan algoritma centang biru sehingga konten kreator mendapat keuntungan ekonomi.

“Ada Undang-Undang ITE, tetapi tidak secara khusus, pengawasan konten media sosial belum ada. Saya sampaikan ke masyarakat agar konten TV dan radio jadi penyeimbang. Ada proses di editing newsroom, sedangkan dalam akun medsos belum ada,”
katanya.

Baca juga: Komisi I DPR sebut draf revisi UU Penyiaran hampir rampung

Dia mengatakan kalau ada kesalahan di radio dan televisi pihaknya bisa langsung mengawasi.

Sedangkan Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah Roni Thabroni mengatakan digital yang diawasi KPI adalah media terestrial yang masih menggunakan frekuensi publik dengan menggunakan antena.

Menurut Undang-Undang Cipta Kerja Nomer 11 Tahun 2020 Pasal 60 A migrasi televisi teresterial dari teknologi analog ke digital diselesaikan paling lambat dua tahun setelah pemberlakuan undang-undang tersebut.

Dampaknya saat ini jumlah stasiun televisi bertambah, siaran beragam dan budaya menonton dari masyarakat.

"Tantangannya adalah siarannya 24 jam sehari sehingga, kemudian masih adanya blank spot-nya separuh di Jawa Barat selatan lalu persoalan SDM. Masyarakat saat ini pola konsumsinya sudah berbeda sehingga perlu konvergensi konten," katanya.

Pakar media Dr. Makroen Sanjaya mengatakan berdasarkan databoks saat ini mayoritas masyarakat mendapatkan informasi dari media sosial kemudian televisi, berita online, situs resmi pemerintah, media cetak kemudian radio.

"Menurut data Nielsen populasi TV menurun sedangkan menurut WeAreSocial waktu konsumsi TV cenderung stagnan atau berpotensi turun," katanya.

Baca juga: DPR: Konten televisi harus mengacu UU Penyiaran

Pewarta: Agus Setiawan
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2023