Jakarta (ANTARA) - Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar mengatakan negara maju memiliki tanggung jawab besar dalam mengendalikan perubahan iklim, karena mereka menyumbang sekitar 67 persen emisi gas rumah kaca global pada tahun 2023.
 
"Perubahan iklim terjadi, karena emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia," ujarnya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
 
Negara maju yang memproduksi emisi gas rumah kaca terbesar adalah China, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang.

Baca juga: Perubahan Iklim Paling Dirasakan Negara Miskin, Kata Rachmad Witoelar
 
Negara-negara maju yang menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar memiliki tanggung jawab lebih, di antaranya menyediakan pendanaan iklim sebesar 100 miliar dolar AS.
 
Mereka telah menjanjikan pendanaan iklim tersebut, namun saat ini janji itu belum juga terealisasi.
 
Di Paviliun Indonesia pada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB 2023 atau COP28 Dubai, Rachmat mengingatkan semua pihak bahwa ancaman perubahan iklim semakin nyata yang ditandai dengan semakin meningkatnya rata-rata suhu global.
 
Dia mengajak semua pihak untuk bekerja sama dan berkolaborasi melakukan aksi nyata untuk mengatasi persoalan tersebut.
 
"Suhu rata-rata pada tahun 2022 lebih tinggi 0,91 derajat Celsius dibandingkan periode 1951-1980," kata Rachmat yang menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup periode 2004-2009 tersebut.
 
Lebih lanjut, dia mengatakan dampak perubahan iklim dirasakan semua makhluk hidup di bumi, namun yang paling rentan adalah keanekaragaman hayati. Flora dan fauna yang tidak mampu beradaptasi terancam punah.
 
Rachmat menyayangkan di tengah ancaman yang makin nyata, masih ada negara yang bernafsu berperang hingga mengakibatkan emisi gas rumah kaca semakin meningkat.
 
Perang di Ukraina telah mengakibatkan pelepasan emisi gas rumah kaca hingga 33 juta ton hanya dalam waktu dua tahun. Sementara perang di Gaza, Palestina, telah menyebabkan 60,3 juta ton emisi gas rumah kaca lepas hanya dalam waktu 35 hari saja.
 
Rachmat menekankan semua pihak harus bekerja sama melakukan aksi mitigasi dan adaptasi, karena sesungguhnya perubahan iklim adalah masalah global.

Baca juga: PLN Indonesia Power tegaskan komitmen transisi energi di COP28 Dubai

Baca juga: Dunia puji aksi iklim Indonesia
 
Dia menyatakan pentingnya negosiasi di forum seperti Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB untuk memperkuat aksi nyata yang harus dilakukan.
 
"Negosiasi adalah elemen penting dalam menghadapi perubahan iklim," kata Rachmat.
 
Rachmat merupakan tokoh penting dunia dalam isu perubahan iklim. Dia pernah menjabat sebagai Presiden COP13 yang berlangsung di Bali tahun 2007.
 
Konferensi itu menghasilkan dokumen Bali Road Map yang kini dipakai sebagai pijakan aksi pengendalian perubahan iklim global.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023