Jakarta (ANTARA) - Seiring dengan perkembangan kuliner di Tanah Air, penggunaan plastik sebagai wadah makanan dan minuman terus meningkat, terutama untuk layanan dibawa pulang.

Penggunaan plastik untuk kemasan makanan dan minuman dengan mudah dijumpai, baik di kota-kota padat, seperti Jakarta maupun pelosok daerah. Pertimbangan kepraktisan dan keawetan menjadi pertimbangan, sehingga kemasan ini banyak dipakai.

Namun dalam perkembangannya, muncul kabar penggunaan produk berbahan plastik yang dipakai berulang kali bisa membahayakan kesehatan, bahkan dapat memicu kanker.

Benarkah demikian? Mengingat seluruh produk kemasan makanan dan minuman sudah mengantongi label aman bagi makanan dan minuman, sehingga seharusnya aman untuk dikonsumsi jangka panjang.

Seperti diketahui produk plastik memang didesain untuk jangka panjang, dengan tujuan untuk menjaga kelestarian alam.

Kantong kresek sebagai contoh, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akhirnya membatasi pemakaiannya karena menjadi salah satu penyumbang terbesar limbah, bahkan mencemari sungai dan laut.

Dalam perkembangannya muncul informasi yang menyebutkan bahwa plastik dengan kandungan Bisphenol A (BPA) bisa menyebabkan kanker. Informasi yang beredar lewat media sosial ini begitu saja dipercayai sebagian masyarakat.

Tentunya isu ini bisa berdampak terhadap upaya pemerintah untuk memerangi sampah plastik. Bisa dibayangkan saja kalau setiap kali menggunakan kemasan plastik lantas dibuang, sementara kegiatan daur ulang belum sepenuhnya maksimal.
Kemasan makanan berbahan dasar plastik. ANTARA/ Ganet

Masih aman

Pakar polimer dari ITB Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc, PhD mengatakan BPA merupakan unsur kimia yang terdapat di sedimen tanah perkotaan yang padat penduduk dengan kandungan sedimen 0,1 - 1 mg/ kg ppm (part per million/ bagian per juta).

Unsur kimia ini juga terdapat di udara, hasil studi di Asia, Eropa, Amerika, bersumber dari pembakaran sampah dan penggunaan cat semprot dengan kandungan 0,03- 17 ng/ m3.

Bahkan, unsur kimia ini juga terdapat di dalam ikan segar, yang berdasarkan studi kandungannya 0,0002 hingga 12 mg/ kg ppm.

Dengan demikian, jelas Zainal, kandungan BPA terdapat dimana-mana, sedangkan pemerintah sendiri melalui Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) No. 20/ 2019 menyebutkan kandungan BPA tidak boleh melebihi 0,6 mg/ kg ppm.

Zainal menjelaskan senyawa kimia apabila berdiri sendiri memang bisa berbahaya, tetapi apabila ditambahkan senyawa kimia lainnya menjadi tidak berbahaya.

Seperti BPA (Bisphenol-A) sangat beracun, kemudian Phosgene juga sangat beracun. Namun ketika keduanya digabung menjadi Polycarbonate atau polimer, maka sifat kimianya berubah menjadi aman dan tidak reaktif.

Produk polimer sendiri banyak diaplikasikan untuk botol plastik, botol bayi, mainan anak, kemasan air minum, tempat makan, lensa kacamata, pelapis makanan kalengan, disket CD, perangkat otomotif, perlengkapan sport, dan juga beberapa peralatan medis.

Pertanyaannya sekarang, apakah residu BPA yang terperangkap ke dalam wadah berbahan polimer itu masih bisa bermigrasi ke makanan atau minuman? Hal itu bisa diatasi secara teknis agar kandungan BPA tidak melebihi ketentuan BPOM 0,6 mg/ kg ppm.

Kemasan polimer baru akan mengalami penurunan (degradasi) apabila terpapar sinar UV, itupun menjadi fragmen-fragmen yang lebih kompleks.

Degradasi juga terjadi kalau polimer ini terkena suhu di atas 500° Celcius tanpa oksigen.

Migrasi BPA dari wadah makanan dan minuman bisa saja terjadi pada kondisi sebagai berikut, yakni kondisi kemasan yang rusak, kontak langsung antara makanan dan kaleng, makanan dengan lemak tinggi, kemasan yang lebih tipis, waktu kontak dan kemasan makanan yang mengalami peningkatan suhu.

Terkait potensi penyakit, seperti dijelaskan sebelumnya, sangat bergantung kepada konsentrasi BPA, namun kalau disebut menjadi penyebab kanker masih diperlukan studi ilmiah lebih lanjut.

Secara ilmiah kandungan BPA yang terbawa makanan atau minuman akan dikeluarkan dari tubuh. Ada beberapa kasus paparan BPA menimbulkan dampak kesehatan yang disebabkan gangguan metabolisme dari orang tersebut.

Akibat ketidakmampuan tubuh melakukan metabolisme membuat BPA itu menjadi terkonsentrasi. Namun dengan pengobatan dokter penderita bisa segera sembuh.

Dibuang

Sementara menurut ahli kesehatan dr Karin Wiradarma, kalaupun telanjur dikonsumsi, seharusnya kandungan BPA yang masuk ke dalam saluran cerna bisa dibuang dalam bentuk urine setelah melewati hati.
dr. Karin Wiradarma tengah memberikan penjelasan paparan BPA di dalam tubuh. ANTARA/ Ganet

Menurut Karin 90 persen kandungan BPA yang masuk ke dalam tubuh berbentuk tidak aktif, selanjutnya dikeluarkan melalui urine. Dengan demikian DPA yang memberi dampak negatif hanya 10 persen saja di dalam tubuh.

Angka 10 persen yang aktif ini sangat kecil di bawah batas yang ditetapkan BPOM, sehingga kalau disebut ada dampak negatif, maka harus ada kajian ilmiah agar bisa menjelaskan.

Sampai sekarang belum ada kajian ilmiah yang menyebutkan kandungan BPA di dalam tubuh manusia berbahaya bagi kesehatan.

BPA adalah zat kimia dasar yang tidak terlepas dari keseharian kita, baik itu barang pakai maupun konsumsi produk makanan dan minuman.

Isu yang beredar menyatakan bahwa ada kaitan antara BPA dengan beberapa penyakit, di antaranya adalah gangguan hormon, obesitas dan kardiovaskuler, kanker, gangguan perkembangan dan syaraf anak, infertilitas, serta kelahiran prematur.

Padahal setelah ditelusuri secara literatur antara isu, seperti yang disampaikan di atas dan fakta studi yang tersedia, belum dapat dipastikan hubungan kausalitas yang ada.

Masih perlu lebih banyak penelitian yang harus dilakukan terkait BPA ini, ditambah karena penelitian yang ada masih menggunakan hewan sebagai objek penelitian serta tingkat pembuktian harus ditingkatkan.

Sementara itu Ketua Anguis Institute for Health Education Dr Nurhidayat Pua Upa, MARS mengatakan masyarakat perlu diberikan informasi dan edukasi yang tepat mengenai BPA, sehingga tidak terjadi asimetri informasi yang membuat bingung.

Dengan demikian dampak kemasan makanan dan minuman plastik polimer terhadap manusia memang belum ada uji ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Padahal kemasan ini sudah banyak dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

Isu terkait DPA ini kalau diikuti, maka akan berbahaya tidak saja bagi lingkungan, karena akan semakin banyak plastik yang seharusnya bisa dipakai berkali-kali (reuse) bakal dibuang karena kekhawatiran tersebut. Dampak berikutnya dari sisi ekonomi karena kemasan makanan dan minuman akan menggunakan bahan yang lebih mahal.

Intinya sepanjang pemerintah (BPOM) masih menyatakan aman terhadap kemasan plastik makanan atau minuman sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023