Jakarta (ANTARA) - Gemuruh kebahagiaan anak-anak dengan down syndrome menjadi simfoni yang merdu, membingkai Jumat pagi itu dalam keindahan  luar biasa di Sekolah Insan Anugrah yang berada di kawasan Limo, Depok, Jawa Barat.

Seakan-akan langit pun turut bersorak dalam kehangatan bersama mereka dan menjadi peluk erat bagi setiap langkah kecil keajaiban yang terukir di setiap sudut sekolah.

Suara-suara riang itu seperti puisi yang tak terungkapkan, menjadi catatan keindahan yang mengukir senyum di bawah sinar matahari yang bersahabat.

Dalam arena pendidikan yang penuh warna, tiga sosok pendidik menjelma menjadi pelaut pemberani yang seolah tengah menyusuri lautan keterbatasan dengan penuh kesabaran.

Dengan kasih dan bijaksana, para pencerah hati itu menjadi tiang yang kokoh untuk membimbing anak-anak dengan down syndrome dan autisme melalui kisah pembelajaran yang tak ternilai.

Pada 4 Januari 2010, Sekolah Insan Anugerah berdiri dan lahir dari dedikasi Junika, seorang ibu yang memulai misi pendidikan khusus untuk anak down syndrome. Irfan, sang anak yang mendekap down syndrome, menjadi sumber ilham bagi lahirnya misi pendidikan tersebut.

Sebelum sekolah tersebut berdiri, Irfan pernah mengikuti pendidikan di sekolah khusus tingkat taman kanak-kanak (TK). Seiring berjalannya waktu Junika merasa bahwa tingkat pendidikan TK sudah tidak mencukupi bagi perkembangan Irfan. Keinginan untuk melanjutkan pendidikan Irfan ke tingkat SD membawa sang ibu menghadapi berbagai tantangan.

Mencoba opsi sekolah biasa atau sekolah umum, namun Irfan yang energik dan penuh semangat membuatnya sulit untuk beradaptasi. Bahkan di sekolah inklusi pun, Irfan dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya sulit diterima oleh lingkungan sekolah. Akhirnya, Junika memutuskan untuk memasukkan Irfan ke Sekolah Luar Biasa (SLB).

Setelah beberapa waktu, guru-guru dari sekolah sebelumnya menanyakan perkembangan Irfan. Mereka menyampaikan keprihatinan karena merasa sekolah khusus tersebut tidak memberikan kemajuan signifikan.

Hal itu yang menjadi titik balik Junika untuk mengambil langkah berani dalam mendirikan sekolah bagi anak-anak down syndrome dan autisme.

Desakan dari guru-guru lama tersebut memotivasi Junika untuk membuka sekolah khusus yang fokus pada anak-anak dengan down syndrome dan autisme. Meskipun Junika memiliki latar belakang sebagai sarjana ekonomi, dengan tekad dan modal tabungan seadanya ia mengambil langkah besar membuka Sekolah Insan Anugerah.

Awalnya, Sekolah Insan Anugerah berlokasi di Petukangan, Jakarta Selatan, dengan fasilitas yang sederhana, hanya dua petak seperti rumah kontrakan biasa.

Namun, ia memiliki keyakinan bahwa inilah langkah awal yang perlu diambil. Dengan tekad kuat dan semangat untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak berkebutuhan khusus, Junika membawa Irfan keluar dari SLB dan mengajaknya berkontribusi di sekolah yang didirikannya.

Keputusan tersebut, meskipun diawali dengan keterbatasan, membawa berkah. Mulai dari mulut ke mulut, reputasi Sekolah Insan Anugerah tersebar dan orang tua mulai melihat keberhasilan anak-anak mereka yang mengalami down syndrome dalam bersosialisasi.

Sekolah Insan Anugerah menjadi tempat di mana anak-anak berkebutuhan khusus dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Orang tua pun merasakan manfaatnya, melihat anak-anak mereka pulang dengan kebersihan dan kemandirian yang luar biasa.

Tak hanya memupuk semangat mandiri, namun sekolah itu juga merangkai pelajaran dengan mempersembahkan keindahan seni dengan melibatkan seni lukis dan tari.

Seorang guru mengajar murid down syndrome di Sekolah Insan Anugrah, Depok, Jawa Barat. (ANTARA/Rivan Awal Lingga)

Masa pandemi

Masa pandemi COVID-19, banyak siswa dan guru di sekolah itu yang meninggalkan lingkungan pendidikan. Jumlah guru yang awalnya empat orang, menyusut menjadi dua orang sejak pandemi hingga saat ini.

Sistem pembelajaran jarak jauh pun tidak bisa dilakukan oleh Junika, karena keterbatasan murid dengan down syndrome dan autisme.

Keterbatasan ekonomi pada orang tua murid juga menjadi salah satu alasan sekolah tersebut menyisakan delapan siswa saja. “Kalau orang tua yang tidak mampu membayar, saya tetap mengarahkan untuk sekolah di SLB yang gratis,” ungkapnya.

Kendati demikian, ia tidak patah arang. Junika selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak didiknya di Sekolah Insan Anugrah.

Dengan hati yang tulus dan penuh cinta, ia telah berhasil membina hubungan yang begitu mendalam sehingga murid-muridnya tidak hanya dianggap sebagai siswa, melainkan diterima dengan sepenuh hati seolah mereka adalah anak-anak kandung yang sangat dicintainya.

“Ya mereka sudah seperti anak sendiri,” imbuhnya.


 

Foto kolase tangan anak down syndrome saat bermain (kiri) dan tangan seorang guru membantu murid down syndrome dalam merapikan mainan (kanan) di Sekolah Insan Anugrah, Depok, Jawa Barat. (ANTARA/Rivan Awal Lingga)

Saat jatuh tempo pembayaran sewa tempat sekolah, rasa jenuh menyelinap seperti bayangan kelam yang menghantui seolah menghadirkan ketegangan dan beban yang begitu berat di setiap sudut ruang kelas yang seharusnya penuh keceriaan.

Namun, karena Junika turut memiliki buah hati yang juga dipercayakan dengan keistimewaan down syndrome dan autisme sebagaimana orang tua murid lainnya, rasa jenuh pun takluk menghilang dan gairah berjuang tumbuh kembali untuk mempertahankan keberlangsungan sekolah itu.

“Begitu melihat anak-anak, dan mungkin saya juga pernah mengalami seperti orang tua lainnya, rasa jenuh langsung hilang, langsung semangat lagi,” kata dia.

Junika dan Sekolah Insan Anugerah membuktikan bahwa dengan tekad dan keberanian kita dapat membuka jalan bagi mereka yang mungkin terabaikan di masyarakat. Pendidikan khusus untuk anak-anak down syndrome dan autisme menjadi fondasi untuk menciptakan lingkungan inklusif yang lebih baik.

Dari mimpi seorang ibu, tempat ini menjadi sumber harapan, kebahagiaan, dan pembelajaran berharga bagi anak-anak dengan down syndrome dan autisme.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023