Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) menegaskan sejumlah rekening atas nama MA yang dipersoalkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) pada 2005, bukanlah milik pemerintah, tetapi milik insitusi MA. Sekretaris MA, Rum Nessa, yang didampingi Kepala Biro Keuangan MA, Darmawan S Djamian, kepada wartawan di Gedung MA, Jakarta, Rabu, mengatakan sejumlah rekening senilai Rp7,45 miliar itu terdiri atas tiga komponen, yaitu biaya perkara, dana kesejahteraan dan dana pembangunan masjid. "Uang itu milik MA, bukan milik pemerintah karena bukan berasal dari APBN," ujarnya. Rum Nessa menjelaskan awalnya dana kesejahteraan berasal dari potongan gaji karyawan pada masa jabatan Ketua MA Mudjono pada 1981 yang digunakan untuk kepentingan karyawan seperti dana simpan pinjam dan sebagainya. "Tetapi, potongan itu sudah tidak diberlakukan lagi pada masa jabatan Ketua MA Purwoto Ganda Subrata pada tahun 1990-an, karena dana kesejahteraan itu dari bunganya saja sudah mencukupi," jelasnya. Dana kesejahteraan itu saat ini dipergunakan untuk bantuan uang makan dan uang transportasi yang dibagikan kepada karyawan di lingkungan empat peradilan setiap bulannya. Dana pembangunan masjid, lanjut Rum, berasal dari sumbangan dari para hakim, panitera dan karyawan untuk pembangunan masjid di MA guna menggantikan bangunan Musholla yang saat ini ada di MA. Namun, pembangunan masjid itu sampai saat ini belum terealisasi. Sedangkan biaya perkara, menurut Rum, berasal dari pihak ketiga yang berperkara di MA, masing-masing senilai Rp500 ribu untuk biaya kasasi dan Rp2,5 juta untuk biaya Peninjauan Kembali (PK). Biaya itu disetorkan oleh pihak yang berperkara langsung ke rekening MA. Selanjutnya, biaya itu digunakan untuk keperluan bersidang, seperti biaya administrasi, biaya pencatatan dan biaya meterai. Rum mengatakan pengelolaan tiga komponen dana itu dikelola secara terpisah, sehingga biaya perkara hanya dikhususkan untuk keperluan bersidang dan tidak digunakan untuk biaya kesejahteraan pegawai. "Biaya perkara itu benar-benar untuk keperluan bersidang. Masuk ke kita Rp500 ribu per perkara, yang keluar juga Rp500 ribu untuk keperluan sidang satu perkara," ujarnya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006