Jakarta (ANTARA) - Presiden South-East Asia Parliamentarians against Corruption (SEAPAC) Fadli Zon mendorong ketegasan ASEAN, dalam membangun komitmen politik terkait antikorupsi.

“Kebijakan antikorupsi ditemukan malah di ASEAN Convention Against Trafficking in Persons. Oleh karenanya, kebijakan ASEAN Pasca-2025 harus lebih tegas dalam isu antikorupsi. Termasuk dalam menciptakan arena setara bagi parlemen dan eksekutif di ASEAN,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.

Penegasan itu disampaikan Fadli saat berbicara sebagai salah satu panelis di the 10th Forum of Parliamentarians, sebagai kegiatan khusus di the 10th Conference of the State Parties to UNCAC, Atlanta, USA, 11-15 December 2023.

Dia menyoroti mengenai ASEAN yang hanya memiliki sedikit referensi kebijakan regional terkait antikorupsi. Menurut dia, cetak biru komunitas politik dan keamanan ASEAN telah memasukkan isu antikorupsi sebagai salah satu elemen, namun, pernyataan tindaklanjut maupun kebijakannya relatif sedikit.

Fadli yang juga Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI menegaskan keterlibatan parlemen sangat penting. dalam mendukung pelaksanaan efektif dari beragam aturan UN Convention against Corruption (UNCAC). Parlemen tidak hanya berfungsi untuk meratifikasi UNCAC, tetapi juga untuk mempersiapkan beragam legislasi terkait UNCAC, pengawasan regular terkait pelaksanaan UNCAC untuk dapat mengetahui kekurangan dari kebijakan anti-korupsi, hingga mendukung ketersediaan anggaran untuk melaksanakan berbagai program anti-korupsi.

“Kerja Parlemen tidak hanya berhenti di ratifikasi UNCAC, justru baru dimulai setelah itu,” ujarnya.

Bahkan, kata dia, masih tingginya korupsi meski UNCAC telah berjalan selama 20 tahun. Potret itu terlihat dari hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2022. Di ASEAN, hanya satu negara dari sebelumnya tiga negara pada 2020, tercatat memiliki nilai di atas 50. Oleh karenanya penanganan dengan pendekatan menyeluruh komunitas (whole of society approach), termasuk dengan melibatkan parlemen adalah keharusan.

Hasil Kajian Singkat SEAPAC menemukan beberapa contoh keperluan legislasi seperti perlunya lima negara di Asia Tenggara untuk mengkriminalisasi suap kepada pejabat publik asing dan organisasi internasional. Dua negara perlu mengadopsi atau mengamendemen kriminalisasi atas obstruction of justice.

“Sedikitnya empat negara meminta bantuan UNODC untuk dukungan teknis terkait penyusunan legislasi, contoh UU, saran legislatif, yang kesemuanya merupakan bagian dari kerja-kerja parlemen,” katanya.

Dia pun menyarankan dua hal yakni membangun mekanisme domestik untuk review regular UNCAC dan mendorong Conference of the State Parties (CoSP) untuk memiliki kebijakan jelas dalam pelibatan anggota parlemen dalam mekanisme review UNCAC.
Baca juga: Jokowi: Perlu dukungan parlemen ASEAN wujudkan Asia Tenggara sejahtera
Baca juga: Fadli Zon sebut parlemen ASEAN berencana kunjungi Myanmar
Baca juga: Pertemuan SEAPAC bahas korupsi dan pencegahan

 

Pewarta: Fauzi
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2023